Mohon tunggu...
Faris Rizqhilmi
Faris Rizqhilmi Mohon Tunggu... Dokter - @frizqhilmi

Medical students and soon to be a doctor. FKUI' 17.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dokter Layanan Primer, Solusi atau Pengalihan?

21 Februari 2018   12:31 Diperbarui: 21 Februari 2018   12:36 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                               Menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia bak menguras air di lautan, usaha yang dikeluarkan terus ada namun hasilnya tidak kunjung terlihat dengan signifikan. Padahal sejak tahun 2015, WHO (World Health Organization) telah memasang 17 tujuan global yang ditujukan untuk semua negara PBB. Kehidupan sehat dan sejahtera, salah satu tujuan yang saat ini masih terus diusahakan oleh pemerintah Indonesia.

Tentunya untuk Indonesia bisa memenuhi tujuan tersebut salah satu faktor penting yang harus ada adalah kerja sama yang terjadi antara pihak berwenang seperti Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dengan tenaga kesehatan salah satunya yaitu dokter harus berjalan sinergis dan saling melengkapi. Namun baru-baru ini muncul permasalahan baru yang menghambat kemajuan untuk pencapaian tersebut. Setelah 4 tahun lalu program BPJS Kesehatan mulai beroperasi, program pemerintah yang cukup revolusioner namun penuh pro dan kontra. Sebagaimana tercatut dalam website resmi BPJS, bahwa di era JKN pelayanan kesehatan tidak lagi berpusat pada rumah sakit atau fasilitas kesehatan lanjutan melainkan dilakukan dengan berjenjang sesuai kebutuhan medisnya. Pemerintah di sini dalam usaha mengimplementasikan 4 pilar prinsip managed care yaitu Promotif, Preventif, Kuratif, dan Rehabilitatif. Prinsip tersebut memberlakukan pelayanan kesehatan yang difokuskan pada Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai gerbang pertama kesehatan.

Berkaitan dengan itu, pemerintah merasa bahwa Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) masih harus ditingkatkan dan dikuatkan. Dalam menindaklanjuti hal tersebut maka Kementrian Kesehatan mengadakan program Dokter Layanan Primer yang dikatakan setara dengan program spesialis sebagaimana tertera dalam UU No. 20 Tahun 2013. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru apakah sebenarnya keberadaan Dokter Layanan Primer memang benar-benar dibutuhkan sebagai solusi meningkatkan pelayanan kesehatan primer atau sebenarnya akar dari permasalahan yang terjadi bukan karena kompetensi dokter umum yang masih kurang memadai melainkan keberadaan fasilitas sarana prasarana yang ada serta sistem BPJS Kesehatan yang masih perlu diperbaiki lagi.

Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI) mengajukan permohonan penolakan pada sejumlah pasal terkait UU No 20 Tahun 2013 antara lain Pasal 36, Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b, Pasal 7 ayat (9), Pasal 8 ayat (1-5), Pasal 10, Pasal 19 ayat (1-4), Pasal 24 ayat (5) dan (7) huruf b, Pasal 28 ayat (1-2), Pasal 29 ayat (1-2), Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 39 ayat (1-2), Pasal 40 ayat (2) huruf b, dan Pasal 54. Ketentuan itu mengatur uji kompetensi, sertifikasi kompetensi, dan dokter layanan primer. 

Pasal-pasal tersebut dinilai menghambat dokter umum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga melanggar hak konstitusional dari pelayanan kesehatan masyarakat. Contoh hal ini adalah dengan adanya dualisme Lembaga penyelenggara uji kompetensi yang seharusnya adalah wewenang IDI cq Kolegium, jika pergururan tinggi kedokteran ikut serta memberikan hasil uji kompetensi. Sebagaimana yang dikatakan kuasa hukum PP PDUI, Muhammad Joni dalam sidang tersebut bahwa dokter umum akan terhambat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Menurutnya juga istilah dokter layanan primer tidak dikenal dalam pasal 1 angka 9 UU Nomor 29 Tahun 2004.

Para dokter umum dari PDUI juga mengatakan bahwa mereka selama Pendidikan dokter telah mendapatkan sangat banyak materi mengenai tata cara pengelolaan penyakit di fasilitas kesehatan primer ditambah dengan adanya internship yang pastinya berlokasi di FKTP seperti puskesmas. Para dokter umum yang sebelumnya juga pernah bertugas di puskemas mengatakan bahwa sebenarnya permasalahan dalam penanganan atas 155 penyakit yang tergolong layanan primer bukan disebabkan oleh kurangnya kompetensi dari dokter umum melainkan karena kurangnya sarana dan prasarana, alat dan obat-obatan yang ada. Mereka juga mengatakan dengan adanya DLP berpeluang untuk pekerjaan mereka diambil alih oleh DLP, dan jika mereka harus mengikuti program DLP lagi maka waktu yang diperlukan akan semakin lama dan biaya yang dikeluarkan semakin banyak yang akhirnya menghambat mereka untuk berpraktek. Permasalahan kapitasi DLP yang dibayar mahal sedangkan kapitasi dokter umum rendah juga menjadi momok tersendiri.

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki 3 alasan utama mengapa mereka menolak program pemerintah tersebut. Dalam kesepakatan Muktamar ke 29 di Medan pada tahun 2015, ketua umum IDI, Prof Dr Ilham Oetama Marsis, SpOG mengatakan "DLP akan memberatkan calon dokter dan dianggap merendahkan serta meragukan kompetensi dokter umum yang melayani di layanan primer," dan dalam keputusannya Perhimpunan Dokter Layanan Primer Indonesia tidak diakui sebagai Perhimpunan Dokter dibawah IDI. Kedua, sudah adanya SDKI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) yang telah disusun oleh PB IDI beserta PDPP (Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer) yang terdiri atas Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) dan sudah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Menurutnya dokter dengan SKDI dirasa sudah mampu dalam mengatasi pelayanan primer. Menurutnya juga apakah DLP termasuk spesialis atau umum juga masih rancu dalam UU tersebut. Terakhir ia mengatakan bahwa kenapa banyak orang yang lari ke rumah sakit atau malas ke klinik atau puskesmas adalah disebabkan kurang lengkapnya alat yang tersedia.

Namun di sisi lain pihak Kementrian juga memiliki alasan diperlukannya program DLP. "Selama ini angka rujukan masih tinggi karena kompetensi dokter di layanan primer masih perlu ditingkatkan sehingga mampu mendeteksi 144 penyakit yang harus bisa ditangani di layanan primer," kata Akmal Taher, Staf Ahli Menteri Kesehatan. (Kompas, Rabu 18/11/2015). Kepala Badan PPSDM Kesehatan Kementrian Kesehatan, Usman Sumantri dalam seminarnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan bahwa tujuan adanya DLP adalah untuk menguatkan sistem pelayanan di FKTP dan sifatnya tidak wajib. Menurut Budi Sampurna selaku Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan ahli dari Pemerintah mengatakan dalam sidang lanjutan pengujian UU Pendidikan Kedokteran di Gedung MK bahwa aturan itu (Pasal 36 UU No 20 Tahun 2013) bertujuan untuk melindungi masyarakat melalui pelayananan dokter yang berkualitas. Menurutnya juga DLP dibentuk semata-mata untuk meningkatkan kompetensi dokter sebagai alternatif jenjang karier profesi dokter yang sesuai dengan Pasal 7 ayat (5) UU Pendidikan Kedokteran. Profesi dokter sendiri tidak akan hilang, kariernya bisa dibentuk menjadi spesialis, peneliti, DLP, dan pendidik.

Sebenarnya jika ditarik sebuah kesimpulan dari bagaimana sebenarnya sisi atau sudut pandang dalam melihat permasalahan ini, akar dari permasalahannya adalah karena kondisi atau faktor sarana prasarana yang memiliki peran besar dalam pelayanan kesehatan. Pemerataan sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia di FKTP di seluruh Indonesia belum tersebar merata bahkan masih ada FKTP yang letaknya di daerah terpencil  hingga saat ini belum memiliki dokter.

Lingkaran setan akan terus terjadi, selama masalah-masalah dasar seperti perbaikan sarana dan prasarana belum berjalan dengan merata dan baik maka dokter, meskipun sudah mengikuti prosedur tindakan yang tepat namun dengan adanya kendala sarana dan prasara tidak dapat melakukan apapun selain merujuk. Jika kita tinjau kembali, pembukaan program baru oleh pemerintah terhadap adanya program DLP pastinya memerlukan biaya yang tidak murah dan juga pengawasan. Sedangkan gejolak permasalahan kesehatan akan terus berlangsung di masyarakat terutama di FKTP. Berdasarkan dari hal tersebut, akan lebih bijaksana jika Pemerintah memfokuskan terlebih dahulu kepada perbaikan dari sarana dan prasarana maka kelanjutannya dari perbaikan kualitas juga akan berjalan dengan selaras. Revisi ataupun peningkatan kualitas dan cakupan dari SKDI pun dapat lebih terlihat atau visible manfaatnya dikala pemerintah pun memfasilitasi kinerja dokter pada FKTP dengan lebih maksimal. Pemerintah melalui Kemenkes juga bisa lebih meningkatkan bagaimana kolaborasi multi disiplin tenaga kesehatan sebagai bentuk upaya promotif dan preventif di masyarakat, yang bisa mengurangi jumlah masyarakat yang sakit terlebih menderita penyakit kronik yang memakan anggaran BPJS dengan besar.

Pengadaan program DLP juga dinilai kurang efektif karena biaya untuk kapitasi DLP yang pastinya lebih tinggi namun disisi lain kinerja mereka tidak akan optimal selama pemerintah masih tak acuh terhadap kondisi FKTP, hal ini terlihat seolah pemerintah mengesampingkan faktor lainnya dan membebani permasalahan di pelayanan kesehatan primer kepada dokter umum karena dirasa kompetensinya belum memadai. Jumlah rujukan ke FKTL juga meningkat sebagaimana pada 2015 tercatat pada triwulan I 2015 sebanyak 15% pasien melakukan rujukan. Terkait hal itu Akmal Taher selaku Dirjen BUK Kemenkes menjelaskan tingginya angka tersebut kemungkinan karena FKTP belum memiliki fasilitas yang memadai atau dokternya tidak ada saat itu.

Terkurasnya anggaran dana untuk BPJS akan semakin menjadi jadi bahkan dikhawatirkan defisit hanya akan menghasilkan siklus berulang selama akar masalah tidak diselesaikan. Oleh karena itu sudah sepantasnya pemerintah juga mulai peduli dan menaruh perhatian lebih kepada perbaikan infrastruktur sarana dan prasarana kesehatan karena bagaimanapun masyarakat yang sehat akan menjadi awal terciptanya kesejahteraan. FKTP yang baik akan menjadi awal pemerintah bisa mengurangi pengeluaran anggaran dan kucuran dana untuk permasalahan kesehatan karena masyarkat akan lebih percaya pada pelayanan di FKTP sehingga tidak terlalu terburu-buru meminta rujukan ke Rumah Sakit atau FKTL.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun