Hari ini adalah hari yang luar biasa, hari ini adalah hari kelahiran Pancasila. Kurang dari 75 tahun yang lalu, BPUPKI berusaha untuk menuliskan dasar-dasar negara yang kelak akan menjadi tulang punggung dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan pada saat itulah perdebatan-perdebatan intens menggema membicarakan dasar falsafat negara.
Dalam perjalanannya pancasila telah menjadi sebuah dasar falsafat negara yang penuh dengan perdebatan. Dimulai dari dari perdebatan  saat pembentukannya yaitu pada tahun 1945, kemudian setelah pemilihan 1959 pun terjadi perbedaan penafsiran antara antara kubu Pancasila itu sendiri, kubu Islam, dan dan kubu Sosio-Ekonomi. Perbedaan pandangan ini terus berlanjut  hingga akhirnya Presiden Soeharto dalam masa ordebaru barusaha untuk mematok penafsiran pancasila dalam bentuk P4 dan asas tunggal.
Selepas orde baru, Presiden Abdurrahmah wahid menjadi pelopor penafsiran pancasila yang multi dimensional. Pada saat itu Presiden Abdurrahman Wahid mencoba menafsirkan pancasila dengan menggunakan asas Islam. Bagi Presiden Abdurrahman Wahid Islam dan pancasila tidak ubahnya seperti tebu dan gula. Islam adalah tebunya sedangkan Pancasila adalah gulanya. Dengan kata lain Islam adalah asal dari Pancasila itu sendiri.
Inti dari cerita ini adalah bahwa, dengan banyaknya keberagaman yang terdapat di Bumi Pertiwi telah membuat penafsiran pancasila menjadi kompleks. Ini baru penafsiran gaya Presiden Abdurrahman Wahid, belum enam presiden lainnya. Bukan cuman presiden yang menafsirkan Pancisla, partai politik pun punya tafsir terhadap pancasila yang beraneka ragam, tentu saja ini disesuaikan dengan arah ideologi partai dan basis konstituen. Jika kita tarik lebih lebar, Indonesia punya beragam budaya dan keunikan daerah masing-masing, dengan keragaman dan keunikan budaya dari setiap daerah dapat memunculkan penafsiran yang berbeda-beda. Belum lagi agama, common sense dan masih banyak lagi.
Tentu saja ini membutuhkan sebuah penengah agar setiap insan Indonesia tidak dirugikan. Penengah yg saya maksud disini bukan penyederhana atau pematok yang ada pada zaman orde baru. Harus ada penengah agar setiap orang dan kelompok dapat di untungkan dan tidak dirugikan, agar semua penafsiran dapat saling membangun satu sama lain. Jadi pertanyaan, apa penengah itu?
Penengah itu adalah yang saya sebut dengan nama "KOMPROMI".
Apa itu kompromi ? kompromi adalah sebuah kesepakatan damai antara dua pihak, agar semua pihak dapat diuntngkan. Mengingat begitu beragam nya Indonesia, dibutuhkan jalan ini agar setiap masalah dapat diselesaikan dengan damai. Namun ingat ada dua elemen yang dibutuhkan dalam setiap kompromi : elemen pertama adalah komunikasi, dan yang kedua adalah kebesaran hati. Komunikasi diperlukan agar setiap perbedaan penafsiran diselesaikan secara damai. Selain komunikasi elemen penting lainnya juga dibutuhkan kebesaran hati, kebesaran hati untuk menerima penafsiran orang lain dan tidak melulu membenarkan penafsiran kita sendiri.
Dan yang terakhir saya ingin mengingatkan. Karena kita Indonesia dan kita pancasila, kita beraneka ragam dan sering berbeda pandangan. Oleh sebab itulah dibutuhkan wadah diskusi kritis dari setiap elemen bangsa dalam menengahi pancasila. Bukan sebuah badan tapi sebuah majelis, bukan di tunjuk oleh satu orang tapi ditunjuk oleh kolektif. Agar kelak pancasila bukan hanya menjadi dasar tapi juga menjadi keunikan yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H