"Ketika tradisi dan keterbatasan akses bersatu, dukun bayi tetap menjadi pilihan banyak ibu di pelosok Indonesia. Apakah ini sekadar pilihan budaya, atau cerminan tantangan yang lebih besar?"
Mayoritas masyarakat Indonesia yang tinggal di desa atau pedalaman terpencil dengan etnis tertentu seperti Jawa, Melayu, dan beberapa etnis di Nusa Tenggara masih mempercayai dan memilih dukun bayi untuk persalinannya. Hal tersebut mencerminkan kombinasi faktor budaya, ekonomi, dan keterbatasan akses pelayanan kesehatan. Dukun bayi, sosok yang pernah menjadi pilar utama dalam proses kelahiran, kini tetap bertahan sebagai pilihan bagi sebagian masyarakat. Lebih dari sekadar penolong persalinan, mereka adalah penjaga tradisi, pembawa doa, dan pelaku ritual yang diyakini memberikan perlindungan bagi ibu dan bayi. Namun, di balik peran mulianya, pilihan ini sering kali lahir dari keterpaksaan.Â
Biaya jasa dukun bayi yang jauh lebih terjangkau dibandingkan layanan medis modern menjadi alasan kuat, terlebih bagi mereka yang hidup dalam himpitan ekonomi. Ironisnya, di wilayah terpencil, minimnya infrastruktur dan tenaga kesehatan mempersempit pilihan masyarakat, seolah-olah menyerahkan nasib kepada tangan tradisi. Edukasi kesehatan yang masih terbatas hanya memperkuat cengkraman fenomena ini, menyisakan pertanyaan besar: bagaimana menjembatani tradisi dan modernitas tanpa mengorbankan keselamatan?
Dukun bayi merupakan seseorang yang memiliki kemampuan menolong persalinan dan perawatan bayi baru lahir, biasanya kemampuan ini diperoleh turun temurun dari orang tua atau kerabat terdekat. Dalam kehidupan masyarakat di desa, dukun bayi kadang kala dipercaya sangat mampu untuk membantu kasus persalinan yang sulit. Rasa kepercayaan ini tumbuh dari pandangan bahwa dukun bayi memiliki kemampuan magis yang mendukung keberhasilan persalinan bahkan di dalam situasi yang penuh tantangan.
Angka kematian ibu di Indonesia sendiri masih relatif tinggi. Salah satu penyebab utamanya adalah pemilihan jenis bantuan pendampingan dalam proses persalinan. Masih terdapat banyak ibu hamil yang tidak memilih fasilitas pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan sebagai pendamping persalinan mereka. Rasa kepercayaan masyarakat yang masih melekat terhadap dukun bayi atau "orang yang disepuhkan" memberikan pengaruh besar di dalam proses pemilihan tempat persalinan tersebut. Mereka merasa lebih senang untuk memanfaatkan pelayanan dukun bayi karena biasanya berasal dari daerah sekitar yang sama dan merasa memiliki budaya serta kultur yang sama pula.
Praktik dukun bayi tidak hanya terdapat di Indonesia, hal ini sudah menjadi tantangan di berbagai negara. Kehadiran dukun bayi telah ada sejak lama di berbagai belahan dunia dan memiliki perbedaan penyebutan di berbagai negara lain. Asia tenggara memiliki istilah masing-masing untuk menyebut dukun bayi, Thailand mengenalnya dengan Moh Tum Yae, seorang bidan tradisional. Sedangkan, Filipina menyebutnya dengan Hilot, masyarakat yang tidak memiliki pendidikan formal sebagai bidan yang membantu para ibu melahirkan yang biasanya dilakukan di rumah. Pada belahan negara lain, seperti komunitas pedesaan dan terpencil di Amerika Latin, praktik leluhur seperti kebidanan telah diwariskan secara turun-temurun. Di daerah-daerah ini, hambatan geografis dan perbedaan budaya dapat menghalangi akses ke pusat layanan kesehatan.Â
WHO mencatat pada 2020, hampir setiap dua menit terjadi kematian ibu hamil, dengan sekitar 800 perempuan meninggal setiap hari akibat penyebab yang dapat dicegah. Di Indonesia, angka kematian ibu meningkat dari 4.005 kasus pada 2022 menjadi 4.129 pada 2023, dengan keterlambatan diagnosis dan rujukan ke fasilitas kesehatan sebagai salah satu penyebab utama.
Meski fasilitas kesehatan dan program jaminan kesehatan seperti JKN berkembang, banyak masyarakat, khususnya di daerah terpencil, masih memilih melahirkan dengan dukun beranak. Di Manggarai, NTT, banyak ibu hamil datang ke puskesmas setelah melahirkan dengan dukun dalam kondisi parah yang membutuhkan penanganan medis lebih lanjut. Ketidakpercayaan terhadap biaya rumah sakit menjadi salah satu alasan mereka tetap memilih dukun beranak meskipun bisa memanfaatkan JKN atau SKTM.
Faktor budaya dan kurangnya informasi tentang prosedur medis yang aman adalah penyebab utama ketergantungan pada dukun. Oleh karena itu, edukasi dan pendekatan yang sensitif terhadap tradisi serta budaya masyarakat sangat penting. Kolaborasi antara tenaga medis dan dukun yang sudah diterapkan di beberapa daerah bisa meningkatkan akses dan kepercayaan terhadap layanan kesehatan. Peningkatan kualitas fasilitas kesehatan di daerah terpencil juga menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan keselamatan ibu dan bayi. Fenomena ini menunjukkan tantangan besar dalam menggabungkan tradisi dan modernitas. Kolaborasi berbasis pengetahuan medis dan kesadaran akan risiko dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini.Â
Pada era ini, Jaminan Kesehatan Nasional telah memberikan manfaat kepada para ibu dan anak. Manfaat tersebut berupa pemeriksaaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui, bayi, hingga anak balita. Kemudian, pelayanan kebidanan yang meliputi persalinan juga dapat dibiayai oleh BPJS Kesehatan. Dengan, adanya jaminan persalinan ini dapat membantu para ibu yang memiliki keterbatasan ekonomi. Pemerintah perlu melakukan edukasi dan mendorong para ibu untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan ketika melakukan persalinan dengan memanfaatkan JKN. Kini, JKN menjadi fondasi bagi Indonesia untuk pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan yang diharapkan manfaatnya dapat dirasakan bagi seluruh masyarakat Indonesia.