Mohon tunggu...
Faris SEFTer
Faris SEFTer Mohon Tunggu... -

Follow my twitter @AlFarisiHijr

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Masih Tentang Indonesia, Masih Tentang Cinta

10 Agustus 2013   23:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maunya sih bicara tentang indonesia, tapi kesannya terlalu berlebihan, lebay kata anak alay. Terlalu banyak pula pokok bahasan yang harus dikupas tuntas.

Maunya juga bicara tentang masyarakat indonesia yang hilir mudik pasca lebaran tiba, tapi kesannya sok peduli. Padahal mereka juga tidak memperdulikan nasibnya ketika singgah di jakarta mau jadi apa? Dan mau kerja apa? Ujung-ujungnya jadi pengamen, tukang parkir, dan yang menyedihkan lagi mereka mendaftar jadi gelandangan. Upps gelandangan sepertinya tidak ada audisinya. Jadi silakan ambil formulirnya dan daftarkan diri anda segera.

Maunya juga bicara tentang lingkungan di ibukota tercinta, tapi nanti ada yang nyahut sok bersih lagi. Sok-sok’an bicara kebersihan, memang kamu peduli kebersihan? Kalau saya tidak peduli kebersihan untuk apa saya bicara kebersihan. Tapi memang nih harus diperhatikan kebersihan di ibukota. Seringnya kita lalai dalam menjaga kebersihan. Mungkin dampaknya belum terasa untuk kita, tapi coba tengok saudara-saudara kita yang sering kebanjiran saat musim penghujan tiba. Coba tengok mereka yang tinggalnya di kawasan banjir. “Siapa yang suruh mereka tinggal di kawasan banjir, pindah aja dari sana”. Maunya juga pindah, kamu enak hidup bermewahan dari hasil jeripayah orangtuamu, kalau saya kan masih ngontrak dan berjuang menghidupi keluarga dengan susah payah. Jadi ikhlas pasrah sajalah dulu ketika air banjir menghampiri saya. Sudah jangan pada ribut.

Maunya juga bicara tentang kemacetan yang sudah semakin padat di ibukota, tapi nanti ada yang teriak; makanya jangan naik kendaraan pribadi terus, coba sesekali manfaatkan alat transportasi umum. Alat transportasi umum yang bagaimana? Waduh siapa tuh yang nyahut! Yang naiknya tanpa aturan, dan bangkunya pas-pasan alias berdiri tanpa kendali. Yang banyak pencopetnya atau yang banyak tindakan asusilanya? Yang mana yang harus dimanfaatkan? Pilih kendaraan pribadi atau alat transportasi umum? Nah loh pada berantem.

Maunya juga bicara tentang cinta, tapi nanti dibilang gombal. Sok-sok’an bicara cinta, mending kenal siapa itu cinta. Saya mengenal cinta sudah cukup lama, ketika film fenomenal ada apa dengan cinta tayang. Disitu mungkin saya mengenal cinta, anda pasti mengenalnya. Upps maaf jika bukan cinta itu yang dimaksud, saya pikir tentang sebuah nama yang sering disebut rangga dalam puisinya.

Cinta, satu hal yang terbesit dalam ingatan saya. Bertatapan sangat dalam, berkata-kata dengan sangat manis, memberi perhatian dengan sangat anggun, memberi hadiah dengan sangat romantis, membuat puisi mesra dengan kata-kata menusuk kalbu.

Apakah itu cinta? Bisa jadi bisa jadi “eatbulaga”

Cinta lebih identik dengan pernyataan pihak pertama ke pihak kedua yang dimulai dengan kata pujian dan berakhir dengan ucapan mesra “Maukah kamu jadi pacarku”?

Itu sih basi banget, anak alay juga menggunakan paham kuno ala barat itu. Jalan berdua, makan berdua, nonton berdua, pulang berdua. Nah kata-kata terakhir sebenarnya kurang tepat, biasanya memang selalu berdua. Tapi untuk urusan pergi atau lebih digarisbesarkan dengan menjemput sang pacar biasanya sendiri dan pulangnya juga sendiri. Iya kan para laki-laki. Jika berangkat udah berdua, berarti sampai tempat sang pacar jadi bertiga? Bukan gitu, saya dari rumah pergi berdua dengan istri saya dan sampai halte busway ya saya turunin; memang destinasi awalnya disitu. Setelah istri saya naik busway, lalu saya sempatkan diri ke rumah pacar saya. Loh bahaya ini, jangan ditiru.

Nah, pilihan terakhir adalah paham timur yang menurut saya lebih modern. Pada akhirnya memang saya yang selalu di ejek. Kenapa di ejek? Paham timur tidak mengenal pacaran, mereka lebih senang pacaran setelah menikah. Ketika saya ingin menggunakan paham ini, para wanita seakan heran. Bukan hanya para wanita, tetapi laki-laki juga heran. Kenapa demikian? Maklum, saat zaman jahiliyah dulu saya hobby menggunakan paham kuno ala barat yang alay itu; yakni pacaran. Pantas saja teman-teman saya tak menerima ketika saya berpindah haluan. Sok suci, gimana mau kenal kalau tidak pacaran? Menikah kan butuh biaya besar, persiapan serba wah, dan mau dikasih makan apa anak orang setelah kita nikahin? Nah ini yang sering saya dengar dari mulut sebagian teman-teman saya.

Mungkin mereka pikir pacaran tidak butuh biaya? Pacaran tidak butuh persiapan? Pacaran tidak perlu makan? Pacaran tidak perlu wah? Berapa biaya yang sudah digelontorkan untuk menikmati hubungan haram ini? Berapa banyak dosa yang kalian buat saat percakapan mesra terjadi? Berapa banyak perhatian yang kalian berdua lontarkan dalam sehari semalam? Apakah ini bukan persiapan yang melebihi pernikahan? Maaf, saya pacarannya baik-baik kok. Cowo saya tuh engga mau kalau diajak pacaran, dia juga  udah mau putusin saya. Terus kamu bilang apa? Saya engga mau putusin dia? Loh kenapa? Saya masih cinta sama dia. Terus cara kamu memperhatikannya seperti apa? Pokoknya setiap kali dia pergi, pasti saya tanya perginya kemana dan sama siapa? Kadang saya juga menanyakan sampai jam berapa perginya, sama cewe atau sama cowo? Hah sedetail itukah??

Pacaran terkadang mengalahkan hubungan pernikahan. Mengalahkan dalam artian tentang sebuah percakapan dan perhatian. Mungkin menurut saya, mereka sudah seperti saling memiliki; jadi timbullah perasaan ego yang terlampau tinggi. Bahkan yang sadisnya lagi seperti lagunya afgan, terkadang si doi ngasih ultimatum kalau mau diputusin. Anehnya lagi ultimatumnya engga main-main. “Kamu mau putusin aku? Kamu berarti siap kehilangan aku? kamu berani? Aku akan nekat bunuh diri kalau kamu putusin aku?” Bahaya tingkat negara nih. Terlalu takut kehilangan cinta makhluk dibandingkan kehilangan cinta Allah.

Untuk semua penikmat paham barat yang alay ini hendaklah bertaubat. Kita hidup didunia hanya sebentar kawan, jangan sia-siakan waktu luang yang diberikan Allah kepada kita. Kalau belum siap menikah mending ditahan dulu tuh nafsu pacarannya. Jika kawan semua sudah siap, langsung deh uji nyali menemui ayahnya. Nekat lo bro? Maaf kawan ini bukan nekat, pahami makna kata yang saya tuliskan. Uji nyali. Nyali berbanding terbalik dengan nekat. Nyali selalu dibarengi dengan persiapan yang matang, kalau nekat selalu dilandasi dengan ketergesa-gesaan tanpa persiapan yang jelas.

Jika sudah jelas maknanya, uji nyali siap di jalankan. Tenang, uji nyali disini tidak dilakukan di tempat sepi. Bahkan tidak disertakan  dengan kamera infra merah dan gerakan tangan melambai ketika anda sudah tidak kuat lagi. Uji nyali disini lebih di prioritaskan untuk melabuhkan cinta anda melalui hati seorang ayah yang anaknya telah merebut sebagian duniamu. Uji nyali disini adalah untuk berikrar bahwa engkau telah siap mencintainya semata demi mengharap ridho-Nya. Uji nyali disini lebih menjadi awal dari sebuah hubungan, apakah sang ayah menerimamu menjadi suami dari anaknya atau menerimamu menjadi menantu baginya. Pilih yang mana kawan? Semua pilihan baik untukmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun