Mohon tunggu...
Fariska Novianti
Fariska Novianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Antropologi

Manusia biasa-biasa saja yang gemar meracik kata.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Seksual: Resistensi Budaya dan Fenomena Nikah karena Hamil Duluan

30 Juni 2023   10:45 Diperbarui: 30 Juni 2023   10:49 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada dunia yang semakin modern, segala informasi dapat diakses dengan mudah, kapan pun, di mana pun, dan oleh siapa pun. Dampak modernisasi yang hampir menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan ini tentu saja memiliki dampak positif dan negatif. Selain kemudahan mendapatkan segala informasi merupakan dampak positif dari kemajuan teknologi, hal tersebut juga memiliki celah yang kemudian menjadi dampak negatif. Sebagai contohnya yaitu ketika kemajuan teknologi dalam hal kemudahan memperoleh informasi ini dimanfaatkan oleh anak-anak untuk mencari hal-hal yang tidak sesuai dengan usianya seperti pornografi. Pada anak-anak di bawah umur dengan rasa keingintahuan yang tinggi, kegiatan menonton pornografi dapat memicu mereka untuk melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, banyak terjadi fenomena hamil di luar nikah, terlebih didukung oleh pendidikan seksual yang kurang komprehensif karena resistensi budaya di mana membicarakan hal tersebut di lingkungan sekolah dianggap tabu.

Pendidikan seksual sebagaimana yang diketahui memegang peran penting pada kehidupan masa remaja manusia. Adapun pendidikan seksual bertujuan agar para remaja memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang mereka butuhkan untuk menentukan ataupun menikmati seksualitas mereka, baik secara fisik maupun psikis, baik secara individual maupun dalam relasi. Dalam pendidikan seksual, para remaja juga akan diajak untuk mengetahui segala hal yang berkaitan dengan isu tersebut, misalnya kesehatan reproduksi, alat kontrasepsi, perlindungan terhadap penyakit menular seksual, kekerasan seksual, dan aktivitas seksual itu sendiri. Akan tetapi, terdapat penolakan dan stigma ketidaksesuaian budaya yang menganggap bahwa berbicara mengenai hal-hal berbau seksualitas di lingkungan sekolah adalah tidak sopan. Pada akhirnya, mereka tidak mendapatkan bekal yang cukup mengenai wacana tersebut.

Fenomena mengenai hamil duluan kemudian baru menikah ini tidak serta merta menjadi solusi, melainkan justru membawa dampak negatif lebih lanjut. Pernikahan dini ini menyumbang besar angka kemiskinan dan kekerasan seksual. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, utamanya ketidaksiapan mental dan finansial.

Tentu ada alasan mengapa terdapat usia ideal dalam menikah, selain mempertimbangkan kondisi biologis yang belum matang, ada pula masalah mental yang menjadi fondasi utama dalam membangun bahtera rumah tangga. Masa remaja adalah masa yang sangat labil. Mereka diasumsikan belum mampu mengambil keputusan dengan matang. Masa remaja juga merupakan masa di mana seseorang baru memulai masa dengan dirinya sendiri sehingga tak jarang seseorang yang mengambil keputusan besar dalam hidupnya pada masa remaja akan mengalami penyesalan di masa mendatang. Masa remaja adalah masa penuh keegoisan. Emosi tidak stabil.

Sementara terkait finansial, dalam hidup berkeluarga, semuanya butuh uang. Terlepas dari kepercayaan di mana rezeki sudah diatur oleh Tuhan, membangun rumah tangga dengan ketidaksiapan finansial dapat berjalan dengan baik tampaknya adalah omong kosong, setidaknya untuk tahun-tahun awal pernikahan. Mengingat bahwa pernikahan dini menyumbang banyak angka kemiskinan baru, adanya pendidikan seksual diharapkan mampu membekali para remaja dalam bertindak dengan cara mengetahui dampak-dampak dari berhubungan seksual. Dalam konteks berhubungan seksual yang berujung kehamilan pada pihak perempuan, selain memperoleh kepuasan dan kenikmatan dari kegiatan tersebut, banyak hal lain yang perlu dipikirkan. Selain kehilangan masa depan yang penuh akan impian, mereka juga harus mencari uang untuk masa kehamilan, masa setelah bayi lahir, membesarkan anak, dan membiayai hidup mereka sendiri dalam kebutuhan sandang, papan, pangan, serta segala tetek bengek lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun