Mohon tunggu...
Faris Insan
Faris Insan Mohon Tunggu... -

stay cool...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

“Nak... Nak... Nak...”

6 Mei 2012   07:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kenapa mama meninggalkan kita, pa ?”

Anak itu menatap lekat kepada sesosok wajah yang kelihatan kosong, wajah itu tersenyum sendu menanggapi pertanyaan anak sematawayangnya itu.

“nak...nak...nak...” katanya lirih.

“Seandainya kamu sudah cukup dewasa nak” lanjutnya pelan.

Anaknya masih menatap berharap, bagai samudra yang haus akan ketenangan, perasaan tenang akan cinta yang telah hilang. Tetes air mengalir pelan dipelupuk mata lelaki itu, tak kuasa menjadi seorang ayah bagi anak kesayangannya ini.

“Kamu jangan khawatir, hidupku akan lebih baik nak” Bisiknya pada anaknnya.

“Papa, kenapa menangis ?”

“Saya bahagia masih memilikimu nak ” katanya pelan sambil mengelus rambut anaknya lembut.

“Ayo, kita ke rumah paman” lanjutnya langsung menggendong anaknya, berjalan meninggalkan halamannya yang tak terawat itu. Langkahnya pelan tak bertenaga. Sinar terik matahari tidak menganggunya, sesungguhnya senyum anak dipanggkuannya yang mengusik hatinya, kebahagiaan itu terasa terlalu mahal baginya.

Derik pintu menggetarkan ruangan itu, sesosok pria datang dengan wajah setengah hati, matanya mengiritkan secuil emosi, tak ada sapaan berarti saat dia merenggut anak itu dari pangkuannya.

“Hai, Nona manis” katanya sambil mengangkat anak itu sambil memainkannya di udara.

“saya titip Nina yah” kata ayah itu sendu.

“kau mau kemana ?” tanyanya marah, menurunkan nina kecil dari tangannya. “mau mencari pelacur itu ?”

“Ssst...ssst...jangan bicara begitu kak, ada Nina di sini” jawabnya sambil melihat anaknya yang keliatan kebingungan.

“Saya sudah bilang sama kamu berkali-kali, jangan jadi pecundang”

“saya sudah melakukan yang terbaik, tolong kakak mengerti...”

“kenapa kau membiarkan pelacur itu lari dengan lelaki lain ? yang terbaik kau bilang ? kalau saya melihatnya akan kubunuh dia” katanya berapi-api.

“Sudah kak...sudah....tolong jangan bicara itu di depan Nina”

Pria yang sudah setengan baya itu menghela napas panjang sambil melihat saudaranya yang meyedihkan ini. Bingung tak berdaya akan takdir yang menyeretnya dalam keputusasaan. Rasa sayangnya kepada kemenakannya adalah hal yang nyata baginya.

“Maaf kak, saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, bukan salah dia, bukan salah kakak yang terlalu pemarah, bukan salah bosku yang telah memecatku, bukan salah orang tua kita yang telah melahirkanku, bukan salah Tuhan akan hidup ini....”

Kakaknya kelihatan tak menanggapi perkataan adiknya, keputusasaan adalah hal yang yang sangat mengerikan untuk dinikmati, dia kembali mendekap kemenakannya yang berusia tak lebih 5 tahun itu dengan sayang.

“Kalau mau pergi silahkan” katanya tak peduli sambil membelakangi dan meninggaalkan saudara yang berdiri kaku.

“Makasih kak, tolong jaga Nina”

Sang ayah menatap anak yang sedang mencuri pandang kearahnya. Nina mungil memberikan senyum ikhlas kepada pria kaku ini. Entah kenapa sang ayah kembali mengingat saat pertama kali melihat anak kesayangannya itu dalam pelukan istri tercinta, perasaan tenang dan bahagia itu kembali terasa dalam pikirannya. Tangingan yang sama ketika melihat anak pertamanya itu lahir tetapi tangingan ini terasa lebih kelam baginya.

Dia berjalan kembali ke rumahnya yang tak lebih berjarak 10 meter itu. Rumah kenangan yang masih menyimpan sedikit kebahagiaaan. Sekali lagi keadaan rumah yang berantakan tak sedikitpun menganggu pikirannya. Saat itu matanya hanya tertuju pada foto keluarga yang terpampang dengan sombongnya.

Tak ingin lama bernostalgia, sambil menghapus air mata yang membasahi, dia tergopoh-gopoh mengambil kursi yang tampak sederhana itu. Segala persiapan telah mantap, dia tahu apa yang harus dilakukannya, entah semangat atau kesedihan yang memotivasinya saat membuat simpul tali sesuai harapannya. Satu tarikan tegas pada tali mengisyaratkan semua telah siap pakai.

Dia kembali menghimpun kesadarannya untuk menatap lekat sekitarnya, kenangan yang tak ingin ditinggalkan dalam memori. Senyum lirih menutup ritualnya. Dia menutup mata sedalam-dalamnya, sekali lagi terbayang segala kenangan, dan wajah Nina kecil begitu mendominasi bayangan itu.

“Kau pasti akan bahagia, nak” kata yang lebih terkesan menghibur diri sendiri dari pada sebuah doa.

Akhirnya sebuah tendangan kecil memulai perjanannya itu, kursi pijakanya jatuh tak berdaya sepertinya keadaannya saat ini. Tidak banyak perlawanan yang dilakukannya. Usahanya hanyalah mempertahankan wajah anak kesayanganya dalam pikirannya.

“nak....nak....nak.....”

FIN..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun