Guru lukisnya itu, selalu bercerita sepenuh hati, hati ke hati. Kalaulah masih ada alasan bagi Plato untuk kembali ke akademi, maka alasan utamanya adalah untuk mampir ke kelas seni. Apabila guru plontosnya itu yang bercerita, cerita- cerita biasa, bisa berubah jadi luar biasa. Tak terkecuali, tentang pelukis Spanyol itu- Picasso. Plato muda tak menyangka, dari perkataan Picasso yang gurunya ceritakan, ia jadi mengerti apa yang mesti ia lakukan. Menjadi diri sendiri itulah yang mesti ia lakukan.
Mengidolakan tokoh- tokoh idaman, menghianati diri dengan berusaha menyaru sebagai mereka, Plato muda sudah selesai dengan itu semua. Di zaman di mana Yunani tidak lagi menjadi muara ilmu pengetahuan, dengan para tukang manisan yang jadi penguasa, materialisme tumbuh subur menjadi standar kacamata setiap orang menilai sesama. Memaksa dunia untuk mempersilahkannya menjadi pangeran adalah kelakuan paling konyol yang pernah ia lakukan, begitu tengarainya sadar.
Esok hari di akademi, guru bergincu- sibuk mengumpulkan satu persatu lembaran proposal hidup yang disebarnya jam pertama tadi. Di kolom mimpi tidak ada yang baru, seperti biasa, yang tertulis adalah profesi-profesi yang hampir semua orang pasti pernah menuliskannya. Membubuhkan tanda telah diperiksa lembar perlembarnya, cukup mudah sebenarnya tugas wanita itu. Saking cepatnya membalik halaman, tiba- tiba terjatuh salah satunya tanpa disengaja.
Berbeda dengan kawan-kawannya, tulisan muridnya yang satu ini membuat sang guru senyum- senyum sendiri membacanya, tertulis di kolom mimpi sebuah rangkaian kata menarik:
"saya tahu, ibu tidak bakal sungguh- sungguh memeriksa setiap kertas ini. Kalau ibu membaca tulisan ini, pasti kertas saya adalah salah satu yang terjatuh dari meja Ibu. Semenjak mendengar apa yang Ibu bilang di panggung drama kemarin, saya jadi menemukan mimpi sebenarnya yang ingin saya raih. Mimpi saya mungkin terdengar aneh, tapi kalau masa depan itu memang benar- benar ada, di masa depan saya ingin menjadi Plato, apakah saya akan berakhir jadi Plato? Tentu saja, kalau Ibu berkenan membimbing saya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H