Seperti yang telah diketahui oleh masyarakat umum bahwa Ferdy Sambo (FS) dan Istrinya, Putri Candrawathi (PC) menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hubarat (Brigadir J) pada 8 Juli 2022 lalu, di rumah dinas FS di kawasan Duren Tiga, Jakarta. Kasus pembunuhan ini menarik banyak perhatian publik dimana perjalanan untuk melakukan pengungkapan kronologi terjadinya kasus ini penuh dengan drama dan tindakan obstruction of justice (tindakan menghambat suatu proses hukum).Â
Akibatnya proses persidangan kasus ini berjalan cukup lama, dan masyarakat tentu banyak yang tertarik untuk mengawasi dan mengikuti perkembangan kasus FS dan Istrinya ini. Dalam kasus ini bahkan melibatkan banyak pejabat-pejabat Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), hingga dalam pengusutan kasusnya dari dugaan awal pembunuhnya adalah Bharada Eliezer (Bharada E), ternyata Bharada E hanya disuruh oleh atasannya tersebut. Kemudian ada kerjasama juga FS dengan pembantunya yakni Kuat Ma'ruf (KM) dan salah satu aide de camp (ADC) nya, yakni Brigadir Ricky Rizal (Brigadir R).
Dalam kasus ini setelah menjalani rangkaian sidang telah didapatkan hasil vonis dimana Ferdy Sambo divonis hukuman mati, Putri Candrawathi 20 tahun, Kuat Ma'ruf 15 tahun, dan Brigadir Ricky 13 tahun. Sedangkan, untuk Bharada Eliezer mendapatkan vonis 1,5 tahun karena statusnya sebagai Justice Collaborator (JC). Selain itu, dalam dinasnya FS mendapatkan PTDH atau kependekan dari pemberhentian tidak dengan hormat yang berarti juga dipecat dari instansi kepolisian. Sanksi ini diberikan dikarenakan juga telah melanggar kode etik dari kepolisian itu sendiri.
Kasus ini yang mencuri perhatian publik, tentu tidak lepas dari dampak yang akan didapatkan oleh keluarganya. Dampak terserbut diantaranya adalah stigmatisasi ataupun labeling bagi anggota keluarganya sebagai anak pembunuh Brigadir J. Hal ini tentu menjadi dampak negatif yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan. Terlebih FS memiliki empat orang anak, yang berusia 21 tahun, 17 tahun, 15 tahun, dan 2 tahun. Keempat anak ini diantaranya ada yang masih berusia dibawah umur (dibawah 18 tahun) yang perlu mendapatkan perlindungan anak dan harus diperjuangkan.
Perlindungan anak di Negara Indonesia telah diatur dan secara legitimasi telah tertulis pernyataan maupun ketentuan-ketentuan dalam memperjuangkan perlindungan anak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 2 menjelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia berlandaskan pada Pancasila, UUD 1945, dan prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi: non diskriminasi; kepentingan terbaik yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhdap pendapat anak. Kemudian yang berkewajiban dan bertanggung jawab atas penyelenggaraannya adalah Negara, Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Selanjutnya mengenai perlindungan khusus bagi anak diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2021 tentang perlindungan khusus bagi anak. Adapun pengertian dari perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
Kemudian untuk tujuan dari perlindungan khusus bagi anak adalah, memberikan jaminan rasa aman bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus; memberikan layanan yang dibutuhkan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus; dan mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak anak.Â
Dengan pernyataan dalam peraturan pemerintah ini telah menunjukkan keseriusan dalam memperjuangkan perlindungan khsus bagi anak. Dalam PP ini Pasal 3, poin o menyatakan bahwa perlindungan khusus diberikan juga terhadap anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.
Menyangkut kasus FS yang telah dijelaskan tadi, menimbulkan dampak yang diterima oleh anaknya juga. Dampak tersebut yakni terkait stigmatisasi atau pelabelan negatif yang didapatkan, bahwa anak FS merupakan anak seorang pembunuh.Â
Bahkan stigmatisasi ini juga diberikan oleh tidak sedikit oknum masyarakat, akibat kasus ini yang menarik perhatian masyarakat Indonesia secara luas. Stigmatisasi ini tentu akan menggangu tumbuh kembang anak dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan memperjuangkan masa depannya. Maka, hal ini telah menciderai hak-hak anak yang seharusnya didapatkannya. Dalam perlindungan anak ini salah satunya menyalahi terkait non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup, maupun perkembangan. Sedangkan, untuk perlindungan khusus menyalahi dari tujuannya seperti yang telah disebutkan sebelumnya.