Tanggal 6 April 1994 adalah hari yang dikenang oleh rakyat Rwanda. Pembantaian massal ini diakibatkan karena para kelompok militant menentang misi Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana untuk mempersatukan ketiga suku di Rwanda yaitu Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Hal ini jelas membuat para kelompok militan tidak nyaman, karena mereka menganut sistem pemerintahan satu suku, yaitu suku Hutu memimpin, sedangkan suku Tutsi dan Twa menjadi pengikut.
Pembantaian ini dimulai dari ibu kota Rwanda. Kelompok militan tersebut mulai membunuh siapa saja yang mendukung misi dari Habyarimana. Habyarimana yang berasal dari suku Hutu dan perdana menterinya, Agathe Uwilingi yang berasal dari suku Tutsi juga tidak lepas dari pembantaian. Juvenal Habyarimana ditembak oleh kelompok militan pada saat berada di dalam pesawat terbang.
Peristiwa tragis ini berlanjut dengan membantai orang- orang yang setuju dengan misi Habyarimana. Hanya dengan beberapa jam saja, para kelompok militan sudah memblokade seluruh kawasan Rwanda. Tak hanya rakyat biasa saja yang dibantai oleh mereka, melainkan juga para menteri, pastor dan semua orang yang mendukung Habyarimana.
Tercatat bahwa tidak kurang dari 800.000 jiwa, atau paling banyak sekitar 1 juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian. Setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF, sekitar 300 mayat masih ditemukan di kota Nyarubuye yang berjarak 100 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh dari suku Hutu dan Twa tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar tidak sebanyak korban dari suku Tutsi.
Pembunuhan besar- besaran di Rwanda kurang mendapatkan perhatian besar dari dunia internasioanal, khususnya Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena Rwanda tidak memiliki sumber daya alam yang menguntungkan menurut negara- negara tersebut. Kenyataan ini sangat disayangkan oleh banyak pihak. Forum menunjuk Amerika Serikat, Belgia, Perancis dan Inggris berada dibalik tragedy pembantaian ini. Sekretaris Jendral PBB pada waktu itu yaitu Kofi Annan, juga tak luput dari sorotan. Terutama setelah Annan mendapatkan nobel perdamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H