Mohon tunggu...
Salman Al Farisi
Salman Al Farisi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Pendidikan Bahasa Prancis UNJ

You're what you read ..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Industri "Menginvasi" Dunia Pendidikan...

26 Oktober 2023   09:48 Diperbarui: 26 Oktober 2023   10:04 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menjadi seorang guru tidak sederhana. Tidak sekadar mentransfer pengetahuan dan memberikan tugas. Menjadi seseorang guru perlu menumbuhkan renjana (passion). Kata passion dalam kamus Merriam-Webster bermakna the sufferings of Christ between the night of the Last Supper and his death. Begitu pula dalam Cambridge Dictionary, kata tersebut juga dimaknai sebagai the suffering and death of Jesus Christ. Hingga pada akhirnya, secara umum, kata itu bermakna suffering dan enduring. Dari beberapa makna ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pekerjaan sebagai seorang guru memerlukan sebuah pengorbanan dan ketahanan, baik jiwa, raga, waktu maupun terkadang harta. Kita curahkan semuanya demi siswa-siswa kita. Sayangnya, terkadang kita sebagai guru sering melupakan hal ini dan memandang guru hanya sebagai pekerjaan biasa. Alhasil, proses mendidik hanya sebatas di ruang kelas, di luar itu bukan lagi menjadi urusan. Untuk menghindari hal ini, diperlukan seorang guru yang berenjana (passionate teacher).

Day (2004) mendefinisikan bahwa guru yang berenjana adalah mereka yang berkomitmen, antusias, dan berenergi secara intelektual dan emosional dalam mendidik siswa. Bahkan, dengan tegas, Day pun mengatakan bahwa inti dari sebuah renjana adalah kepedulian. Dengan kata lain, guru harus bisa memahami realitas siswa (apa yang terjadi pada mereka) dan merasakan apa yang siswa rasakan sedekat mungkin sehingga guru dapat segera bertindak dengan tepat, bukan sekadar melalui perkiraan sendiri, melainkan melalui apa yang sebenarnya terjadi pada siswa tersebut. Guru harus memperhatikan pesan-pesan tersirat yang disampaikan oleh siswa melalui bahasa, baik verbal maupun nonverbal, dan mimik wajah mereka. Selain itu, Zohar dan Marshall (2000) mengatakan bahwa guru juga perlu memiliki kecerdasan spiritual yang akan membantunya dalam menerima hasil dari segala upaya yang dicurahkan dengan penuh syukur dan harapan, semangat, serta wawas diri. Oleh sebab itu, secara keseluruhan, guru yang baik adalah guru yang tidak hanya bergantung pada pengetahuannya terhadap metode-metode dan keahlian, tetapi juga harus memiliki kecerdasan secara emosional, spiritual, dan etis.

Dengan desas-desus perkembangan teknologi yang semakin canggih, beberapa media mengabarkan bahwa akan ada beberapa pekerjaan yang hilang atau tergantikan dengan mesin. Disebutkan dari CNBC Indonesia, beberapa di antaranya adalah tenaga jasa penyiapan makanan, tenaga administrasi perkantoran, tenaga jasa transportasi, hingga tenaga produksi manufaktur non auto. Namun, di balik hilangnya pekerjaan tersebut, muncul kebutuhan terhadap pekerjaan baru di berbagai sektor, seperti data scientist dan analyst, AI expert, software and game developer, analis big data, blockchain developer, market research, digital marketing, biotechnology, hingga digital content. Semua pekerjaan yang disebutkan menuntut kita untuk menguasai teknologi terkini. Kemajuan ini memang tidak bisa dihindari. Namun, apakah pekerjaan guru termasuk salah satu yang tergantikan?

Dengan tegas kita katakan, "Tidak akan pernah." Robot atau AI lainnya tidak akan pernah dapat menggantikan posisi guru. Sekolah jangan mau terhasut dengan omongan para pebisnis yang mengatakan bahwa robot tidak akan pernah lelah, tidak pernah mangkir kerja, dan mampu mengulangi kegiatan yang sama berkali-kali. Jangan sampai sekolah-sekolah yang ada sekarang ini dibangun oleh mereka yang berotak bisnis yang tidak memahami bahwa pekerjaan guru tidak sekadar mengajar seperti yang kita sudah sampaikan di awal. Mungkin saja robot bisa menjadi sumber informasi, tetapi robot tidak bisa memahami bahwa kebutuhan dan karakteristik siswa itu berbeda-beda. Sementara kita tahu bahwa robot dibuat berdasarkan sistem yang bersifat statis sehingga menyamaratakan semua hal sesuai standarnya. Tentu ini tidak bisa menggantikan posisi guru. Bagaimana mungkin memberikan robot perlakuan yang sama kepada semua siswa (one size fits all), sedangkan setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.

Hal yang menarik, Comit Syndical Europen de l'ducation (CSEE) mengungkapkan bahwa sekolah bukanlah laboratorium eksperimen untuk menguji teknologi (TIK) dengan siswa dan guru. Sekolah harus menjadi wadah pembelajaran inklusif dan dinamis yang di dalamnya terwujud interaksi antarsiswa dan dengan guru. Sekolah tidak bisa digunakan sebagai kelinci percobaan oleh industri teknologi yang berambisi memengaruhi siswa sejak kecil untuk memperoleh kompetensi informatika dan coding yang kompleks. Bukan berarti kita menolak mentah-mentah segala kemajuan teknologi ini. Hanya saja kemajuan teknologi yang perlu dikuasai adalah teknologi yang benar-benar esensial bagi kehidupan. Bahkan, Susan Flocken, direktur CSEE, menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam membuat dan menyediakan materi dan perangkat digital yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Industri dan perusahaan swasta hanya sebagai pihak kedua dan pendukung, bukan sebagai pihak pertama yang bisa mengatur-atur sekolah sehingga merusak inklusivitas dan berkontribusi terhadap privatisasi dan komersialisasi pendidikan secara tidak langsung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun