Tepat pada hari Kamis, 16 Mei 2024 KPID Jatim diundang sebagai narasumber dalam program Bincang-bincang Jawa Pos TV terkait membahas "Revisi Undang-Undang Penyiaran".
Salah satu isi pada draft RUU penyiaran Pasal 50 B Ayat 2 Huruf C mengatur pelarangan penayangan eksklusif peliputan  investigasi, yang pada kenyataannya hal tersebut menjadi produk tertinggi dalam jurnalistik. Lalu, Pasal 8 A Huruf Q dan Pasal 42 Ayat 2 menjadi hal yang diperbincangkan karena pasal tersebut menyatakan penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, lagi-lagi hal ini bertentangan dengan perundang-undangan pers.
Acara dialog ini dihadiri oleh Afif Amrullah selaku Komisioner dari KPID Jawa Timur, Ahmad Wilianto sebagai perwakilan dari IJTI Jawa Timur, dan Bapak Sapto.
Ahmad Wilianto menilai Revisi Undang-Undang ini masih rancu dan terdapat nilai yang bersinggungan dengan kode etik jurnalis salah satunya pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik. Pelarangan penayangan tersebut sama saja dengan melarang jurnalis untuk berkarya karena. Dampak dari Revisi UU ini juga membatasi kemerdekaan pers, terutama bagi kawan-kawan pers. Jurnalistik akan tidak dapat membuat karya investigasi padahal investigasi by jurnalis menjadi karya yang sulit serta sebagai kontrol sosial sebuah kebenaran pada masyarakat.
Menurut Afif Amrullah bahwa Revisi Undang-Undang ini memiliki urgensinya sendiri terutama pada perkembangan teknologi saat ini, UU penyiaran no. 32 tahun 2002 sudah cukup terpaut jauh dengan sekarang sehingga sudah tidak relevan. Beliau menuturkan memang aspek dari sisi jurnalistik terutama produk investigasi ini, belum menjadi wacana dalam internal KPI. Lalu, tiba-tiba hal ini mencuat sehingga muncul respon yang besar terutama dari kawan-kawan pers.
KPI sebagai lembaga pelaksana Undang-Undang akan menyerahkan proses ini pada masyarakat dan lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan mengesahkan UU ini. Pasalnya, Revisi Undang-Undang ini telah diajukan sejak tahun 2010 tetapi dalam kurun waktu tersebut hanya sampai di prolegnas dan belum lolos untuk disahkan bahkan tiap tahunnya juga berubah urgensi Revisi Undang-Undang penyiaran.Â
Berbagai pihak menginginkan adanya perubahan pada Undang-Undang Penyiaran namun, memang sangat diperlukan peran dari berbagai pihak dalam proses merumuskan undang-undang. Sayangnya, hal ini belum dilakukan oleh pemerintah padahal jika dilihat dari sisi Kebijakan seharusnya dalam proses membuat kebijakan diperlukan "Uji Publik" dengan menampung aspirasi dari berbagai pihak terutama masyarakat karena sifat kebijakan publik, tentu untuk kepentingan bersama bukan kepentingan suatu kelompok diatas kepentingan bersama.
Hal ini juga didukung oleh statement dari Ahmad Wilianto "IJTI mengkritisi dalam proses Revisi Undang-Undang, merasa kurang diberikan kesempatan untuk ikut terlibat dalam merancang Undang-Undang tersebut. Bahkan organisasi pers maupun lembaga pers belum diikutsertakan, padahal kami sendiri ini berasal dari substansi pers yang akan lebih bijak dalam pembuatan UU tersebut melibatkan kami".Â
RUU ini telah menjadi perbincangan akhir-akhir ini dan berbagai spekulasi terus bermunculan, masyarakat juga mengharapkan adanya kebenaran dari semua ini dan yang terbaik bagi negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H