Mohon tunggu...
Faris _15
Faris _15 Mohon Tunggu... -

Lebih baik diasingkan daripada mati dalam kemunafikan ! -Soe Hok Gie-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Musik yang Humanis dalam Novel Totto-Chan

18 Desember 2015   14:51 Diperbarui: 18 Desember 2015   15:15 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

  1. Sekilas tentang novel Totto-Chan

Buku in mengisahkan tentang seorang anak bernama Tetsuko Kuroyanagi, akrab dipanggil Totto-Chan yang memiliki keingintahuan yang sangat besar. Di sekolah, guru – guru menilainya aneh karena tingkahnya (sering melihat keluar jendela dan berbicara dengan wallet). Akhirnya, Totto-Chan pun dipindahkan ke sekolah bernama Tomoe Gakuen yang dikepalai oleh Mr. Kobayashi. Disana terdapat banyak sekali hal yang berbeda dibanding sekolah sebelumnya, karena itulah Totto-Chan mulai menyukai sekolah tersebut. Totto-Chan tidak hanya mempelajari pelajaran membaca, berhitung dan menulis, namun juga mempelajari pelajaran yang berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri.

  1. Teori Belajar di Tomoe

Sebelum mengetahui apa itu teori belajar, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu belajar. Menurut Carl Rogers, “Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang dialami manusia dan bersifat permanen melalui pengalaman dan siswa mempelajari hal yang bermakna bagi dirinya”.[1] Dari pengertian tersebut, kita tahu bahwa belajar tidak hanya dilakukan di kelas, melainkan terjadi dimana saja dan manusia dituntut untuk mempelajari hal – hal yang bermakna dan sesuai dengan keinginannya. Intinya mengubah tingkah laku manusia dan hasil dari perubahan tingkah laku tersebut permanen dan merdeka. Jadi, teori belajar adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana seseorang memahami tingkah laku manusia melalui pengalaman – pengalaman belajar. Dengan kata lain, seorang guru harus mempersiapkan pengalaman belajar yang tepat agar mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai. Terlihat sekali, cara yang digunakan Mr. Kobayashi dalam mengajar murid – muridnya berbeda. Beliau memberikan daftar soal dan pertanyaan yang akan dibahas pada hari itu, dan memberikan kebebasan kepada murid pelajaran apa yang mereka suka.[2]

Memberikan kebebasan kepada murid untuk memilih pelajaran yang mereka suka ini sangat sesuai dengan teori belajar Humanistik dan juga penegertian belajar yag telah diungkapkan Carl Rogers diatas. Karena dalam konsep Humanistik, tujuan dari pendidikan tersebut adalah memanusiakan manusia. Artinya proses belajar bukanlah sebuah paksaan, melainkan sebuah keinginan untuk mempelajari apa yang mereka suka dan berguna untuk mereka. Teori ini dipelopori oleh salah satu tokoh yang cukup terkenal bernama Abraham Maslow. “In Maslow’s Theory, needs that are lower in this hierarchy must be at least partially satisfied before a person will try to satisfy higher level needs”[3]  Beliau dengan teorinya menyebutkan bahwa manusia lebih cenderung memenuhi kebutuhan yang paling mendasar terlebih dahulu, seperti kebutuhan fisik dan psikis dibanding yang lainnya. Dan beliau juga mengklasifikasikan tingkatan – tingkatan kebutuhan manusia dari yang paling mendasar sampai yang paling tinggi.

Kebutuhan tersebut secara garis besar terbagi menjadi dua, Deficiency Needs (Psychological, safety, love and esteem) dan growth Needs (knowledge, aesthetic and self actualization)[4]. Deficiency Needs adalah kebutuhan yang mendasar, manusia lebih cenderung terlebih dahulu memenuhi kebutuhan tersebut, sedangkan Growth Needs adalah kebutuhan yang akan dilakukan jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Disinilah peran seorang guru dalam memahami tingkah laku dan mengajar peserta didik. Guru dituntut untuk memahami betul kondisi setiap siswa agar proses belajar menjadi menarik. Sehingga seperti Mr. Kobayashi telah lakukan, banyak siswa yang antusias mengikuti pelajarannya.

  1. Pengaruh Pendidikan Musik dalam Kehidupan 

Di sekolah Tomoe, bukan hanya kelasnya saja yang unik, tetapi semua mata pelajarannya juga menarik salah satunya mata pelajaran music yang bernama Euritmik. “Euritmik adalah semacam pendidikan tentang ritme atau irama khusus”[5] begitulah penjelasan dari penciptanya bernama Emile Jacques Dalcroze, seorang guru music dan pencipta lagu berkebangsaan Swiss. Dengan music, Dalcroze banyak memikirkan tentang bagaimana seorang murid dapat peka, bukan hanya mendengar dan menikmati music melalui telinga, tetapi juga merasakannya.

Mr. Kobayashi mempraktekkannya dengan memainkan piano lalu semua muridnya mengikuti sesuai dengan tempo dan iramanya. Semakin lama tempo berubah, dan setiap murid harus berkonsentrasi terhadap perintah Mr. Kobayashi. Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara gerak tubuh dan pikiran, menumbuhkan imaginasi dan kreatifitas siswa, serta meningkatkan konsentrasi yang tinggi. “Karena Euritmik adalah olahraga yang menghaluskan mekanisme tubuh; olahraga yang mengajari otak cara menggunakan dan mengendalikan tubuh; olahraga yang memungkinkan raga dan pikiran memahami irama”[6], pengertian Euritmik menurut Mr. Kobayashi sendiri.

Tidak hanya di sekolah Tomoe, pendidikan music juga popular di Venezuela, salah satunya adalah di sekolah music El Sistema. Jose Antonio Abreu, seorang tokoh penting yang mendirikan sekolah tersebut memiliki tujuan dalam mendidik siswa bahwa anak – anak berhak dididik agar mempunyai hak yang sama seperti yang dia miliki. “Di sekolah ini tidak ada perbedaan baik dalam segi warna kulit atau ekonomi, jika mempunyai bakat maka akan diterima disini, kau akan berbagi dengan kami dan membuat sebuah music.”[7] Semua diberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan, tidak memandang suku, ras maupun ekonomi. Mereka semua saling bertukar pikiran sehingga terbentuklah suatu keharmonisan dalam membuat music. Musik tidak hanya menyajikan penonton sebuah music/irama yang enak didengar, namun juga menyampaikan sebuah pesan kekuatan, energy, antusiasme. Seperti yang dikatakan Jose Antonio Abreu “The music is giving these audiences a message of music, vitality, energy, anthousiasme and strength.”[8]

Music adalah kehidupan, melalui music, kita dapat membangun semangat kebersamaan dan persaudaraan, meningkatkan kepercayaan terhadap diri sendiri serta menjadikan diri mereka bertanggung jawab dalam keluarga, komunitas ataupun lingkungannya. Ini juga dapat membuat mereka dapat meningkatkan tingkat social mereka menjadi lebih baik. Music telah memberikan banyak pengaruh positif terhadap nilai – nilai kehidupan.

 

[1] Dr. Dimyati, Drs. Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta, cet ke-4 April 2009, hal. 16

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun