Cukai rokok menjadi salah satu tulang punggung bagi penerimaan negara. Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), capaian penerimaan Bea Cukai dari sektor cukai mencapai Rp 221,8 triliun dari total penerimaan Bea Cukai sebesar Rp.286,2 triliun. Capaian tersebut sebagian besar didominasi oleh jenis barang kena cukai hasil tembakau.
Bak lampu yang semakin terang cahaya semakin gelap bayangannya, meskipun cukai rokok diandalkan dalam penerimaan negara disisi lain kegiatan merokok malah menjadi salah satu kontribusi nyata terhadap angka kemiskinan. Menurut Departemen Sosial dan Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah kondisi berupa ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata-rata di masyarakat. Bentuk kemiskinan terbagi menjadi empat, yaitu Kemiskinan Absolut, Kemiskinan Relatif, Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural. Penghitungan kemiskinan yang dilakukan oleh BPS adalah bentuk Kemiskinan Absolut, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh jumlah penghasilan seseorang lebih kecil dari Garis Kemiskinan (GK).
Penghitungan Kemiskinan Absolut memakai pendekatan yang menilai ketidakmampuan dari sisi pengeluaran rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan dasar (dikaitkan dengan kebutuhan energi minimum sebesar 2100 kilokalori). GK merupakan penjumlahan nilai Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penghitungan GKM dilihat dari jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan termasuk rokok di dalamnya. Lalu, GKMN dihitung menggunakan rasio pengeluaran dari hasil Survey Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD2004). Apabila dicacah per komoditi makanan, rokok ternyata memberikan share kedua terbesar terhadap garis kemiskinan.
Mari kita menelusuri data pada Provinsi Lampung yang memiliki persentase penduduk merokok paling tinggi sebesar 34,08% dari jumlah penduduknya. Nilai persentasenya tertinggi berturut-turut sejak tahun 2019. Lalu, bagaimanakah angka kemiskinannya? Jika dilihat dari angka kemiskinan, Provinsi Lampung memang berhasil untuk menurunkan persentase 11,44% (995,59 ribu jiwa) pada bulan September 2022 menjadi 11,11% (970,67 ribu jiwa) pada bulan Maret 2023. Dalam penghitungannya, berdasarkan data BPS Lampung, peranan komoditi makanan terhadap GK jauh lebih besar dari peranan komoditi bukan makanan. Daftar komoditi makanan di urutan pertama yaitu beras sebesar 18,92% di daerah perkotaan dan 20,86% di daerah perdesaan kemudian disusul dengan rokok kretek filter yang menyumbang persentase sebesar 13,08% terhadap GK di daerah perkotaan dan 13,34% di daerah perdesaa. Komoditi yang mengandung protein seperti telur ayam berada pada urutan ketiga dengan nilai yang jauh dari persentase rokok kretek filter. Padahal seseorang yang dikategorikan miskin itu dapat memperbesar konsumsi pada komoditi makanan yang memiliki kilokalori lebih besar untuk menggeser mereka menjadi kategori tidak miskin.
Merokok mungkin hanya menjadi salah satu faktor penyebab kemiskinan. Tetapi, ungkapan "Yang Miskin, Makin Miskin" sepertinya akan berlaku jika kita membicarakan rokok dan kemiskinan. Alih-alih menekan konsumsi rokok pada masyarakat, tarif cukai yang dinaikan setiap tahunnya malah makin memiskinkan masyarakat miskin sebab konsumsi rokok yang masih besar.
Peretasan kemiskinan dapat sejalan dengan upaya penurunan jumlah perokok. Upaya Pemprov Lampung dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan salah satu cara dalam membatasi ruang gerak para perokok aktif dan memberikan perlindungan pada masyarakat yang selama ini menjadi perokok pasif. Namun, upaya tersebut juga harus diiringi dengan adanya pembatasan jumlah iklan rokok di daerah Lampung sendiri. Pemasangan billboard dan iklan rokok pada pusat lokasi yang sering dilewati oleh banyak orang justru akan menyita perhatian banyak kalangan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H