Mohon tunggu...
Farina Firda Eprilia
Farina Firda Eprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate law student at Padjadjaran University

Berusaha membagikan banyak manfaat lewat hal-hal kecil.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Oversharing untuk Apa?

16 Maret 2021   00:05 Diperbarui: 16 Maret 2021   00:15 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Validitas sosial, ketika mendengar kata itu, kira-kira apa yang muncul di benakmu pertama kali?

Saya beberapa kali menemukan kata-kata itu di sebuah platform media sosial, tepatnya instagram sih, dan alasan saya menulis artikel ini pun dilatarbelakangi olehnya. 

Begini, akhir-akhir ini saya merasa agak heran, mungkin keheranan ini tidak hanya dirasakan oleh saya pribadi. Tapi kamu, mungkin juga mereka di luaran sana, heran akan salah satu fenomena sosial yang kian merajalela di tengah generasi millenial seperti kita, ya, oversharing di media sosial. 

Sebenarnya, sudah menjadi hal yang lumrah bagi kita untuk saling berbagi dan menerima informasi di media sosial karena memang seperti itu kegunaannya, mendapat dan menyalurkan suatu informasi. 

Tetapi nyatanya, akan menjadi suatu permasalahan ketika kita dihadapkan pada suatu masa dimana kita terlalu membagikan sebagian bahkan seluruh bagian  yang menjadi "rahasia" dalam kehidupan kita sehingga hal-hal tersebut menjadi konsumsi publik. 

Lalu timbul suatu pertanyaan, dari mana kita tahu bahwa kita tengah berada dalam fenomena ini? Penyebab utama fenomena oversharing  adalah perilaku seseorang yang bersifat kompulsif, artinya ketika seseorang dihantui perasaan kurang percaya diri yang kemudian mendorongnya untuk mendapatkan validitas sosial, ada gejolak dalam dirinya bahwa ia harus menjadi pusat perhatian, sehingga ia akan merasa "terlindungi" setelah membagikan kontennya yang berlebihan, karena validitas tadi.

Lalu, sebenarnya apa batasan antara berbagi dan membagikan hal-hal yang berlebihan? Meski kita tahu bahwa hal ini memang sangat bersifat subjektif, artinya bisa saja ketika saya mengatakan bahwa membuat postingan berupa curahan hati masalah percintaan adalah tindakan yang berlebihan sebab secara tidak sadar akan mengancam keamanan dan hak privasi seseorang, maka bisa pula sebagian lain bertentangan dengan pendapat saya, dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan hal yang lumrah, tidak berlebih-lebihan. 

Maksud saya menulis artikel ini bukanlah tentang siapa yang memposting, atau apa isi postingan tersebut, melainkan dampak yang ditimbulkan ketika kita telah terjebak dalam keadaan oversharing.  Memang, tingkat kebahayaannya itu tergantung muatan konteks yang dibagikan, apalagi berisi pengalaman pribadinya yang kemudian dilebih-lebihkan, belum lagi ketika kita membagikan konten tersebut yang mana akan sangat berpotensi pada "lupa" dan hilangnya identitas kita di dunia nyata, karena kita telah tenggelam dan larut dalam identitas di dunia maya.

Karena, setelah oversharing itu melanda, kita senantiasa merasa mendapatkan validasi dan berujung pada tuntuan serta keharusan bahwa kita harus-terus dan eksis melulu di sosial media.

Kalau begitu, apa yang seharusnya kita lakukan untuk pencegahan atau mungkin perbaikan ketika dihantui fenomena ini? jawabannya sederhana, simpan hal-hal privasimu secara personal. Karena hal demikian akan membantu tetap terjaganya koneksi dengan orang-orang sekitar, di dunia nyata. ya, dunia dengan segala hal-hal yang otentik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun