KH. Wahab Hasbullah dan Strategi Diplomasi ‘Fathul Qarib’
Kiai Wahab Hasbullah pernah melakukan kontekstualisasi kitab kuning yang judulnya Fathul Qorib yang kemudian oleh Bung Karno dijadikan sebagai dasar penyelesaian konflik Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Pemerintah kerajaan Belanda secara resmi pernah berjanji kepada pemerintahan RI, bahwa Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia pada tahun 1948. ternyata sampai tahun 1951 Belanda masih belum menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat.
Setelah beberapa kali diadakan perundingan untuk menyelesaikan Irian Barat dan selalu gagal. Bung Karno kemudian menghubungi Kiai Wahab Hasbullah di Jombang.
Bung Karno menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat?
Kiai Wahab menjawab, “hukumnya sama dengan orang yang ghosob”.
Apa artinya ghosob itu pak kiai? Tanya Bung Karno.
Ghosob itu istihqoqu malil ghoir bighoiri idznihi (menguasai hak milik orang lain tanpa izin), jawab Kiai Wahab.
Lalu bagaimana solusinya untuk menghadapi orang yang ghosob?
“Adakan perdamaian” jawab Kiai Wahab.
Lalu Bung Karno bertanya lagi, menurut insting pak Kiai apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil?
“tidak” jawab Kiai Wahab.
Lalu kenapa kita tidak potong kompas aja pak Kiai? Kata Bung Karno.
“tidak boleh potong kompas dari syari’ah, jawab kiai Wahab.
Selanjutnya, sesuai anjuran Kiai Wahab untuk berunding dengan Belanda. Bung Karno mengutus Subandrio untuk mengadakan perundingan konflik Irian Barat dengan Belanda. Perundingan inipun akhirnya gagal. Kegagalan inipun disampaikan oleh Bung Karno kepada Kiai Wahab.
Lalu Bung Karno Bertanya Lagi, pak Kiai apa solusi selanjutnya untuk menyelesaikan konflik Irian Barat.
Kiai Wahab menjawab, “akhodzahu qohrun” (ambil/kuasai dengan paksa).
Bung Karno bertanya lagi, apa rujukan pak Kiai dalam memutuskan masalah ini?
Kemudian Kiai Wahab menjawab, “saya mengambil literatur kitab Fathul Qorib dan syarahnya (al-Baijuri).
Setelah Bung Karno mantap dengan pendapat Kiai Wahab yang mengkontekstualisasi literatur kitab fathul qorib agar Irian Barat dikuasai (direbut) dengan paksa, kemudian Bung Karno membentuk Trikora (tiga komando rakyat).
Halal bi Halal: Sebuah Rekonsiliasi Politik Nasional Ala KH Wahab Hasbullah
Sejak kemerdekaan RI pada tahun 1945, para elit politik Indonesia mengalami disintegrasi bangsa. Mereka saling mencurigai, menyalahkan, tidak mau duduk dalam satu forum. Apalagi banyaknya partai politik yang masing-masing merasa benar. Kondisi seperti ini membuat Bung Karno galau, resah dan gelisah. Kebuntuan politik seperti ini membuat masing-masing elit politik tidak mau bertemu. Agar mereka tidak merasa malu untuk meminta maaf dan memaafkan, maka harus dicari format silaturrahim yang tepat.
Ketika memasuki bulan Ramadhan, tepatnya pada tahun 1948, sudah menjadi sebuah tradisi bahwa kyai NU memiliki banyak gagasan yang menarik. Oleh karena itulah Bung Karno memanggil KH. Wahab Hasbullah ke Istana Negara guna dimintai saran dan gagasan untuk keluar dari situasi seperti ini. Setelah Bung Karno usai mengutarakan unek-unek politiknya, barulah KH. Wahab Hasbullah memberikan gagasannya. Sarannya itu ternyata silaturrahim di Hari Raya Idul Fithri karena tak lama lagi akan tiba. Kemudian Bung Karno menjawab singkat: “Silaturrahim itu kan sudah biasa. Saya ingin istilah yang lain.”
Mendengar jawaban itu KH. Wahab Hasbullah akhirnya memikirkan istilah yang tepat untuk forum silaturrahim tersebut. Kemudian beliau mengatakan: “Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah ‘Halal Bi Halal’.”
Berangkat dari saran KH. Wahab Hasbullah itulah kemudian Bung Karno mengundang semua tokoh elit politik untuk datang ke Istana Negara dalam rangka menghadiri silaturrahim yang diberi judul “Halal Bi Halal”. Semua elit politik tidak menyadari jika istilah itu merupakan ajang saling memaafkan antara elit politik yang selama ini beku.
Ternyata, mereka datang semua dan bisa duduk dalam satu forum untuk menyusun kekuatan dan persatuan Bangsa Indonesia yang selama ini sedang terjadi disintegrasi. Sejak tahun itulah Halal Bi Halal dilakukan hingga saat ini. Dan ini juga menjadi bukti nyata bahwa Halal Bi Halal merupakan produk asli Indonesia.
( Majalah al-Haromain edisi 97 Syawal-Dzul Qa’dah 1435b H/Agustus 2014 M halaman 14-15).
Bung Karno menjadi Pede Pake Peci Hitam karena KH Wahab Hasbullah
Terdapat sebuah kisah menarik yang di sela-sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959. Saat itu Bung Karno menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman dengan segala pakaian dinas kebesaran, tetapi semua ini dipakai untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia.
"Seandainya saya adalah Idham Chalid yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas," kata Bung Karno sambil melihat respon hadirin.
"Tetapi soal peci hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini, benar enggak Kiai Wahab ?" tanya Bung Karno pada KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rais Aam Nahdlatul Ulama yang juga anggota DPA itu.