Mohon tunggu...
Faried_078
Faried_078 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sensor & Blur di Acara TV ? ini dasar hukumnya

20 September 2015   21:06 Diperbarui: 4 April 2017   17:35 6476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sebelumnya mungkin sudah ada bahasan perihal acara yang di sensor berlebihan, lebay, alay dan membuat khalayak sebagai audience hilang cita rasanya dalam menikmati film atau program acara lain yang beredar di dunia pertelevisian nasional. Berbeda dengan apa yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah menyangkut aturan yang mendasari hal tersebut diatas. Beberapa waktu belakangan ini sering kali kita jumpai tayangan televisi yang memberikan blur pada belahan dada, rokok, senjata api, senjata api, orang yang cidera atau berdarah juga pemotongan adegan tertentu seperti berciuman, adegan kekerasan dan hal lain juga sensor dengan cara mute volume pada kata-kata yang dianggap kasar dan kurang pantas. Pemaknaan masyarakat selaku audience terhadap usaha penyensoran tentu berbeda beda sesuai dengan ideologi dan latar belakang masing-masing. Namun kebanyakan dari audience tersebut memberikan tanggapan bahwa penyensoran yang dilakukan terbilang di lebih-lebihkan. Kita berjalan sejenak ke masa lalu sebelum penyensoran menyerang. Tidak usah terlalu jauh, bisa kita ingat diawal tahun 2000an atau sesudah deppen runtuh dimana kerah yang mencekik kebebasan penyiaran terasa loggar atau paling tidak kebijakan yang ada tidak membuat khalayak dan lembaga peyiaran gerah.

Memang benar, UU No. 24 Th 1997 berbunyi “Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendalianya dilakukan oleh pemerintah”. Penyiaran memang sempat menjadi instrumen kekuasaan yang berfungsi untuk kepentingan pemerintah semata. Tetapi sejak di keluarkannya regulasi selanjutnya, hal tadi bergulir dan berganti menjadikan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi tadi terdiri mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain sesuai dengan dasar peraturan baru yaitu UU Penyiaran No. 32 Th 2002. Program acara yang tayang di televisi kala itu dapat dikatakan bebas dalam artian demokratis. Spesifik mengenai aturan belum sebegitu rinci seperti sekarang. Perkembangan peraturan yang di keluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Pedoman Perilaku Penyiaran menjelaskan bahwa film dan iklan yang akan di siarkan di TV wajib memiliki tanda lulus sensor dari badan yang berwenang. Sedang lembaga TV wajib melakukan sensor internal pada acara non-berita seperti program komedi,musik, reality show, vidoe clip, features, dan dokumenter.

            Standart Program Siaran KPI tahun 2009 menjadi dasar utama untuk fenomena penyensoran. Payudara atau belahannya mendapat blur berdasar pasal 17 tentang pelarangan adegan seksual dengan ayat yang melarang mengeksploitasi bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi. Selain itu juga dilarang menampakan alat kelamin, ketelanjangan atau kekerasan seksual. Di larang menampilkan gerakan tubuh atau tarian, adegan menyentuh, meraba, atau meremas bagian tubuh yang membangkitkan birahi. Adegan ciuman bibir penuh nafsu atau ciuman pada bagian yang membangkitkan birahi. Adegan masturbasi secara terbuka maupun samar- samar dan masih panjang lagi yang tidak dapat saya tulis.

Sedang skip adegan kekerasan seperti pada film “karate kid” atau blur pada adegan berdarah berdasar kepada Pasal 26. Poin di dalamnya melarang menampilkan kekerasan seperti korban yang berdarah-darah, adegan penyiksaan yang terkesan sadis dan membuat penonton merasa ngeri seperti penusukan dengan benda tajam, adegan bubuh diri secara detil, adegan pembubuhan secara sadis kepada manusia maupun hewan seperti memotong menggantung apalagi memakan. Atau kondisi mengenaskan lainya.

Pasal 30 & 31 mengijinkan penggambaran rokok, alkohol, narkotika dengan batasan tertentu. Yaitu tidak mendorong anak atau remaja, tidak mengandung adegan penggunaan dan tidak menggambarkan pembenaran penggunaan hal tersebut diatas sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Pada film “kungfu hustle” kita akan menemui blur pada rokok ibu pemilik kontrakan, itu lho yang punya jurus auman harimau. Hipotesa penulis, dalam budaya timur beranggapan wanita merokok dapat diartikan wanita tersebut tidak baik. Maka blur pada rokok saja tidak akan mengurangi rasa tahu pemirsa jika wanita tersebut tengah merokok. Tetapi tidak mungkin jika adegan wanita itu di skip, karena dia muncul di banyak scence dan akan membuat film menjadi rancu jika itu di berlakukan.

            Menurut teori kultivasi yang mempelajari efek televisi pada audience mengatakan jika televisi memupuk persepsi audience tentang kehidupan realitas. Televisi menjadi media sosialisasi untuk kebanyakan orang menetapkan standar perilaku atau bagaimana harus bersikap (Gerbner 1976). Tetapi teori ini berlaku lebih kepada penonton berat / penonton fanatik yang menonton tv lebih dari 4 jam seharinya. Karena mereka akan lebih cepat percaya dan menganggap apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyata-nyatanya. Sekedar contoh pada tayangan super hero yang bisa terbang dapat memberi persepsi bahwa itu adalah realita sebenarnya. Kasus anak yang melompat dari apartemen dapat dimasukan ke dalam kelompok penonton fanatik, begitu pula pada kasus kematian anak yang di smack-down temannya.

Menyangkut sensor dan blur yang kurang masuk akal seperti pada kutang Sandy tupai atau belahan dada Tsunade atau celana dalam Spongebob bisa jadi lembaga sensor memiliki sudut pandang tersendiri. Atau mungkin butuh pembaruan kebijakan lagi mengenai spesifik dari kategori yang harus mendapat sensor atau blur, agar khalayak tidak kehilangan selera dalam menikmati acara tv dan lembaga penyiaran juga merasa aman dan tidak kehilangan jamaat saat memberikan siaran. Untuk peraturan selengkapnya bisa di baca pada peraturan KPI mengenai SPS tahun 2009 dan mohon maaf bila tidak menyebutkan isi pasal dengan selengkap-lengkapnya. Sekian tulisan ini saya buat, semoga bermanfaat :)

 

SUMBER

Judhariksawan. 2010. Hukum Penyiaran. Jakarta : Rajawali Pers

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun