Mohon tunggu...
farid wong
farid wong Mohon Tunggu... -

hanya lelaki yang kebetulan lewat, sama sekali tak hebat, tapi suka bersahabat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menebar Kelucuan dan Menjaga Kewarasan di Pentas "Hakim Sarmin"

31 Maret 2017   17:04 Diperbarui: 1 April 2017   08:31 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menonton pertunjukan Teater Gandrik kemarin malam (30/3) di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, sungguh bikin badan segar dan kemepyar, sekaligus bikin gigi kering gara-gara sulit menahan tawa. Melalui lakon “Hakim Sarmin,” kelompok teater asal Kota Gudeg itu menyodorkan isu aktual dan kontekstual – terutama berkait isu pilpres dan pilkada belakangan ini – yang disuguhkan dengan penuh humor dan satir.

Sependek pengetahuan saya, pentas teater yang naskahnya ditulis oleh Agus Noor ini terlihat menggambarkan carut-marut perpolitikan dan hukum, yang telah mengantar banyak orang pada era kegilaan; sebuah era ketika muslihat dan hasrat berkuasa merajalela, juga ketika keadilan dan kegilaan sangat sulit dibedakan. “Inilah zaman ketika kegilaan sudah menjadi trend. Kalau tidak gila malah dianggap jadul, tidak gaul,” kata Hakim Sarmin yang diperankan oleh Butet Kartaredjasa.

Dikisahkan dalam lakon ini, banyak hakim memilih masuk ke sebuah pusat rehabilitasi, yang tak lain adalah rumah sakit jiwa. Di satu sisi, tempat rehabilitasi tersebut dianggap sebagai sarana untuk mengatasi wabah kegilaan; tapi di sisi lain ada yang mencurigainya sebagai sarana untuk merebut kekuasaan. Pasalnya, hakim-hakim itu ternyata hanya berpura-pura edan, dan, dipimpin oleh Hakim Sarmin mereka menggalang kekuatan untuk merebut kekuasaan.

Disutradarai oleh Djaduk Ferianto, “Hakim Sarmin” saya rasakan sebagai visualisasi situasi yang sedang berlangsung di sekitar kita. “Kegilaan” memang sedang terjadi dan tentunya sangat tidak menyenangkan.

Namun, kegilaan yang dipresentasikan dalam pentas selama kurang lebih dua jam itu, yang tentunya didukung tata artistik, tata lampu dan tata musik nan ciamik, menjadi suguhan yang menghibur lantaran penuh sindiran yang dilewatkan guyonan-guyonan. Bahkan, setidaknya menurut saya, pertunjukan itu mampu mengingatkan kita akan kewarasan dan akal sehat.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Melalui ”Hakim Sarmin” pula, kita seperti menertawakan diri kita sendiri yang mungkin juga tanpa disadari terseret dalam “kegilaan.” Bagaimanapun, menertawakan diri sendiri ini penting karena berarti kita tetap sadar dan waras. “Humor menjadi upaya untuk mengingatkan keadaban,” kata Agus Noor.

“George Orwell mengingatkan agar kita tak boleh meremehkan atau menyepelekan lelucon. Karena dalam lelucon, selalu terselip revolusi kecil. Itu sebabnya, Gus Dur pun juga melakukan upaya ‘melawan dengan lelucon’ agar tetap terjaga kesadaran dan kewarasan,” imbuh sang penulis naskah dalam tulisan pengantarnya di booklet pertunjukan yang dibagikan pada penonton.

Selain di Yogyakarta pada 29-30 Maret, “Hakim Sarmin” juga akan dipentaskan di Jakarta pada 5-6 April 2017 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM).

*) Semua foto adalah koleksi pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun