Mohon tunggu...
FARID WILDAN KURNIAWAN
FARID WILDAN KURNIAWAN Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan Institut Al Fithrah Surabaya

Seorang pencinta pengetahuan dan ingin menyebarkan kepada khalayak ramai, maka buku adalah teman terbaik

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Budaya Scrolling Melemahkan Daya Literasi

22 November 2024   06:35 Diperbarui: 22 November 2024   06:36 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Seiring perkembangan zaman, dari manusia berkomunikasi lewat lisan hinga tulisan, yang kemudian memunculkan inovasi berupa teknologi. Teknologi hadir untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan, kemajuannya tanpa melihat perkembangan manusia yang nampak pada banyaknya anak-anak dan remaja sudah menggandrungi 'Apa yang namanya Handphone'.

     Menurut Dimas Bayu," Remaja Indonesia paling banyak mengunakan internet dibandingkan kelompok usia lainya. Ini terlihat dari tingkat penetrasi internet di kelompok usia 13-18 tahun yang mencapai 99.16% pada 2021-2022". Pengunaan media social dikalangan remaja rata-rata digunakan hanya untuk, upload foto, update status, scrolling beranda. Senada dengan ini; Ihfa Firdausya, menyatakan "rata-rata aplikasi yang digunakan adalah You Tube (78%), WhatsApp (61%), Instagram (54%), Facebook (54%), dan Twitter (12%)".

    Dengan demikian rata-rata remaja yang mengunakan media social hanya mengerti sebatas pengunaan secara umunya saja. Dan mereka hanya menjadikan media social sebagai tempat hiburan, dimana yang seharusnya mejadikan remaja semakin berkembang, malah terlena dengan scrolling beranda, melihat vidio-vidio yang tidak ada nilainya. Oleh sebab itu tulisan ini akan mengulas kekhawatiran akan budaya scrolling media social sebagai penghambat literasi di era modern ini.

Prilaku Scrolling Media Social

    Istilah kata scroll berasal dari Bahasa Inggris, jika diterjemahkan secara harfiah ke Bahasa Indonesia berarti menggulir. Scroll juga bisa berarti memuat. Menggulir atau memuat ini mengindikasikan pada media social yang memiliki jangkauan luas, seperti linimasa, beranda, dan fitur-fitur yang ada didalamnya. Dengan itu seseorang akan mudah untuk menemukan apa yang diinginkan, dengan cara scroll/menggulir, maka mereka akan fokus kepada hal yang dituju, sampai apa yang diinginkannya ditemukan.

    Media Social yang begitu luasnya dan scroll sebagai alurnya, seseorang akan banyak menemukan hal-hal yang belum mereka ketahui, seperti foto, vidio, dsb. Hal ini akan menjadikan setiap scroll tersebut memiliki makna tersendiri bagi mereka. Dan tidak hanya satu atau dua kali scroll, berkali-kali men-scroll. Hal ini sebenarnya mereka lakukan bukan karena apa, kemungkinan mereka mencari suatu informasi, yang harus melewati banyak hal-hal yang ada di social media untuk bisa sampai kepada informasi tersebut.

     Semakin banyak yang di scroll semakin berkurangnya waktu dan tenaga. Padahal seseorang yang men-scroll media social memiliki tujuan, tapi tujuan tersebut terhambat karena terlena dengan scroll. Misalnya bila ingin mencari informasi lewat Instagram, tentu kita harus mengetahui kata kunci atas informasi tersebut, dan harus mencari kapan informasi tersebut di share. Menariknya, secara tidak sadar kita baca satu persatu, sehingga yang awalnya mencari informasi, akhirnya kita malah sibuk dengan hal-hal lain.

     Kurangnya kesadaran atas apa yang seharusnya dilakukan, membuat waktu yang digunakan di media social hanya sibuk untuk scroll saja. Bahkan tidak sedikit orang scroll media social tanpa tujuan. Seperti bangun tidur tiba-tiba scroll Instagram, entah apa yang dicari, tiba-tiba se akan-akan tangan bergerak sendiri.

Dampak Scrolling Media Social Dan Hilangnya Kesadaran Diri Manusia

   Setiap apapun di dunia ini memiliki dampak negatif dan positif, tidak luput dengan media social. Adapun dampak positif media social adalah memudahkan kita untuk berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, jarak dan waktu tidak menjadi masalah, lebih mudah dalam mengekspresikan diri, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat, biaya lebih murah. Sedangkan dampak negatifnya adalah berkurangnya sosialisasi yang ada dalam realitas, ketergantungan akan Internet, melemahnya daya pikir karena selalu menjadikan social media sebagai alat pengukur dalam segi kehidupan.

    Sebagai makhluk yang berfikir manusia tentu harus bisa mengunakan kesempatan memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin. Jangan sampai hadirnya teknologi mengalami kemandekan dalam berfikir, karena bila demikian; kemungkinan besar peradaban manusia akan digantikan oleh kecerdasan buatan. Teknologi diciptakan sebagai wadah untuk memberikan kebebasan berfikir lewat media social yang tersedia. Seperti aplikasi yang digunakan untuk bisa mengakses informasi, berita, dan media asing. Tidak hanya itu; dengan teknologi semakin canggih, seseorang akan mudah mencari sesuatu apapun yang belum diketahui. 

     Tidak perlu diragukan lagi, teknologi memberikan dampak yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Akan tetapi dampak tersebut menjadikan adanya ambivalensi terhadap diri manusia, kemunculannya disambut baik oleh umat manusia, di sisi lain juga khawatir teknologi akan merebut substansi manusia, yakni sebagai makhluk berpikir.

  Menurut Reza Fauzi Nur Taufiq; "Dalam dekade terakhir kita dihadapkan masa-masa dimana teknologi menjadi pusaran sentral kehidupan, dan menjadi satu-satunya cara untuk menembus teknologi, batas antara manusia dan mesin menjadi semakin lekat tanpa sekat melalui teknologi. Dengan itu, manusia sangat memungkinkan jatuh dalam mekanisasi dan instrumentalisasi atas kontrol penuh dari teknologi sebagai realitas lain".

    Teknologi yang memiliki pengaruh besar dalam sisi psikologis manusia kadang kala tidak menyadari akan eksistensinya. Hal ini dibuktikan banyaknya individu cenderung menaruh perhatian pada sisi akun social media, misalnya simbol 'Like', yang amat berpengaruh dalam aspek-aspek memosting, isu-isu kekinian dan viralitas. Sehingga apapun harus dilakukan demi 'Like' yang banyak.

   Pernyataan di atas senada dengan Elizabeth Kristis Poerwandri yang mengatakan; "penguna media social cenderung membandingkan diri dengan teman sebaya yang tampil lebih cantik, kaya, lebih banyak teman, lebih keren, pandai atau lebih internasional di media social. Akhirnya cara manusia mengukur nilai diri menjadi lebih superfisial, permukaan, dan dangkal. Penampilan, status sosial, dan kemakmuran menjadi lebih penting daripada spiritualitas, kedamaian diri, ataupun pengetahuan".

     Dengan ini, krisis atas kesadaran dalam diri manusia amat sangat mencolok. Adanya social media digunakan sesuai apa yang diinginkan bukan sesuai dengan kebutuhan. Tentu fakta demikian ini memberikan kekhawatiran atas peradaban manusia di masa depan.

Manusia Bagian Dari Literasi

    Sejarah peradaban manusia bisa diketahui sampai era sekarang ini berkat adanya tulisan, manuskrip, dan budaya. Ini semua merupakan produk manusia sebagai eksistensi mereka di dunia, dan juga sebagai tanda bukti peradaban di masa lalu. Zaman modern merupakan manifestasi dari cara berfikir manusia zaman dulu, modernitas bukan sekedar periodesasi, melainkan kesadaran untuk senantiasa berfikir. 

   Istilah modern memiliki arti kesadaran terkait dengan kebaruan, yaitu suatu hal yang senantiasa diperbarui, menurut F Budi Hardiman; "kata kunci dalam istilah modern adalah pertumbuhan yang meliputi perubahan, revolusi dan kemajuan, pemahaman modernitas sebagai bentuk kesadaran lebih mendasar daripada pemahaman-pemahaman yang bersifat sosiologis ataupun ekonomis". 

     Sebagai bentuk kesadaran modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu: subyektifitas, kritik, dan kemajuan. Dengan subjektivitas dimaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subjectum, yakni sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Oleh sebab itu era modern yang ditandai dengan segala bentuk perbaruan, seperti hadirnya teknologi yang disebut dengan era digital, tidak hanya fokus pada kemajuan teknologi saja, tapi lebih mengarah atas kesadaran bagaimana kehadirannya bisa menjadikan arah baru bagi peradaban manusia.

    Dewasa ini; teknologi, komunikasi dan informasi dapat tersampaikan secara cepat dan mudah. Pemanfaatan teknologi yang baik nyatanya mampu membantu perkembangan bidang-bidang penting dalam masyarakat, seperti bidang pendidikan dan ekonomi. Apabila bidang-bidang tersebut dapat mengalami kemajuan, maka peradaban bangsa dapat maju pula, salah satunya lewat literasi digital.

    Literasi merupakan suatu bentuk dari kecenderungan manusia yang senantiasa selalu bertanya, walaupun secara implisit tidak mengarah pada ilmu. Memaknai literasi tidak sebatas kemampuan untuk baca-tulis, lebih luas dan dalam yakni; 'dampak dari pembacaan dan pemahaman atas suatu literatur, yang memungkinkan manusia menjadi semakin ter-arah akan kehidupan di dunia ini'.

     Manusia bagian dari literasi dibuktikan dengan peradaban yang semakin maju, dan ia menentukan sejarahnya sendiri. Hal ini bisa berupa karya, manuskrip, dan budaya, dari manifestasi kesadaran manusia atas eksistensinya di dunia. Dengan ini, maka peradaban setelahnya akan mengetahui bahwa, tidak mudah untuk bisa membentuk suatu peradaban, perlu adanya suatu hal yang progresif dan penuh dengan pembaruan. Dan sesungguhnya tidak ada manusia yang bisa menempati hal-hal yang permanen, karena hakikat dari manusia adalah senantiasa mencari hal-hal yang baru, walaupun hanya sebatas untuk menghilangkan rasa kebosanan.

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun