Ketika berbicara tentang Pilkada Jakarta, fokus masyarakat biasanya terpaku pada kandidat. Siapa yang akan memimpin kota ini selama lima tahun ke depan? Siapa yang bisa menghadapi tantangan Jakarta yang begitu kompleks? Namun, pertanyaan yang lebih mendalam adalah: siapa sebenarnya pemenang sejati dari kompetisi ini? Jawabannya mengejutkan: bukan para kandidat, melainkan penyelenggara Pilkada itu sendiri.
Mari kita jujur. Setiap kali Pilkada digelar, wajah Jakarta seolah berubah menjadi panggung sandiwara demokrasi. Di permukaan, rakyat diberi pilihan, debat kandidat diadakan, janji-janji politik diucapkan, dan spanduk-spanduk kampanye menghiasi setiap sudut kota. Namun di balik layar, penyelenggara Pilkada, mulai dari KPU hingga Bawaslu, memegang kendali penuh. Mereka bukan sekadar fasilitator, tetapi aktor utama yang menentukan alur permainan.
Penyelenggara ini yang menetapkan aturan, dan merancang waktu, bahkan berkompromi dengan Tim Pemenangan maupun Kandidat untuk menyusun strategi pemenangan. Tentu ketika kritik-kritik demikian terlontar kepada mereka, jawaban mereka selalu serupa yaitu menyampaikan pelanggaran KPU dan Bawaslu tersebut berupa laporan dengan mekanisme yang sudah ditentukan undang-undang seolah selalu mengikuti sistem yang mereka sendiri kibuli dalam kompromi.
Lihat saja perilaku KPU kota Jakarta Utara, sebagai penyelenggara yang masih menjabat walau beragam laporan terkait penggelembungan suara yang  diduga dilakukanya serta sanksi administratif juga didapatinya, pejabat tersebut seolah tidak malu bahkan masih merasa mereka adalah penyelenggara yang akan mensukseskan pilkada Jakarta.
Mereka seolah memiliki kuasa lebih besar dari pemilih itu sendiri. Pilkada tidak lebih dari sebuah ritual formalitas, di mana mereka yang bermain mengikuti aturan sang wasit penyelenggara. Lebih jauh lagi, di tangan penyelenggara, hasil akhir Pilkada bisa digerakkan oleh kekuatan birokrasi, bukan suara rakyat.
Dan inilah yang lebih ironi: dalam setiap pemilihan, kinerja penyelenggara jarang sekali dipertanyakan secara kritis oleh masyarakat. Seakan-akan mereka adalah entitas netral yang tak tersentuh kritik. Ketika hasilnya keluar, fokus kita adalah siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi apakah kita pernah bertanya bagaimana prosesnya? Siapa yang mengontrol di balik tirai itu? Kita sudah lupa, penyelenggara bisa saja menentukan arah permainan tanpa kita sadari.
Pemenang Pilkada Jakarta? Jangan salah. Kandidat boleh saja berganti, tetapi pemenang sebenarnya tetap sama. Penyelenggara yang selalu berada di balik layar, yang tak pernah kehilangan kontrol, adalah pemenang yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H