Mohon tunggu...
Farid Sudrajat
Farid Sudrajat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Media Rakyat

Arogansi kekuasaan harus menjadi lebih egaliter

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Artis Berpolitik, Lelucon Pahit Demokrasi

26 Juni 2024   22:44 Diperbarui: 26 Juni 2024   22:49 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan fenomena yang menggelikan sekaligus mengkhawatirkan: gelombang artis Indonesia yang berbondong-bondong masuk ke dunia politik. Mulai dari Rano Karno yang mencoba peruntungan di panggung politik, Eko Patrio yang seakan menganggap parlemen sebagai panggung lawaknya, hingga Mulan Jamela yang tampaknya lebih piawai bernyanyi daripada berpolitik. Dan sekarang, Marcel juga ikut-ikutan ingin jadi calon walikota Tanggerang. Apakah ini yang kita sebut sebagai kemajuan demokrasi? Atau hanya lelucon pahit yang dihidangkan oleh partai politik kepada rakyat?

Partai politik tampaknya hanya peduli pada dua hal: elektabilitas dan isi tas. Alih-alih mencari dan membina kader dengan kapabilitas dan integritas, mereka lebih suka menggaet selebriti yang memiliki basis penggemar luas. Mengapa? Karena dalam politik Indonesia yang dangkal ini, popularitas sering kali diartikan sebagai kompetensi. Para artis ini diharapkan bisa mendulang suara berkat popularitas mereka, tanpa perlu membuktikan kemampuan memimpin yang sesungguhnya. Ini adalah penghinaan terhadap esensi politik itu sendiri.

Bagaimana mungkin kita bisa mempercayai bahwa seorang penyanyi atau komedian yang terbiasa menghibur di panggung dapat mengurus urusan negara atau daerah dengan baik? Apa yang bisa kita harapkan dari mereka selain wajah yang sudah akrab di layar kaca? Seharusnya, kita menuntut lebih dari sekadar popularitas.

Kita butuh pemimpin yang berpikir, bukan sekadar artis yang berakting. Namun sayangnya, partai politik terus mempermainkan logika rakyat dengan menghadirkan sosok-sosok yang lebih pantas tampil di infotainment daripada di mimbar parlemen.

Fenomena ini menunjukkan kegagalan besar partai politik dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga demokrasi. Mereka seharusnya menjadi wadah bagi kader-kader terbaik bangsa, bukan sekadar panggung bagi selebriti. Kita membutuhkan pemimpin yang lahir dari proses panjang pembinaan dan pendidikan politik, bukan yang muncul karena sorotan kamera. Partai politik harus sadar bahwa mereka bertanggung jawab untuk mencetak pemimpin dengan visi besar dan kemampuan nyata, bukan sekadar mencari popularitas instan.

Rakyat Indonesia berhak mendapatkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas. Coba lihat Pak syahrir, Pak Natsir bahkan yang terakhir kami lihat ada di generasi Pak Yusril kehebatan mereka dalam membuat ide dan terobosan yang mampu dinikmati oleh rakyat, dan ingat mereka lahir dari proses tempaan hidup bersama rakyat mereka terdidik dalam perkumpulan dan perhimpunan, belajar mengorganisir, memecahkan masalah, bertarung pikiran baik dengan kawan ataupun lawan diskusi.

Sudah saatnya kita bersikap kritis terhadap pilihan-pilihan politik yang ditawarkan. Jangan biarkan politik kita dirusak oleh selebriti yang hanya mencari panggung baru. Kita harus menuntut lebih dari partai politik dan menolak kandidat yang hanya menjual popularitas tanpa kapabilitas. Indonesia butuh pemimpin sejati, bukan bintang sinetron.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun