Mohon tunggu...
Farid Ramadhan
Farid Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Life is Good, Life is Fun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Love is Love = Sex is Sex (soal LGBT)

30 April 2023   16:56 Diperbarui: 17 Juli 2023   13:18 1589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari: Akurat.co

LGBT bukan hal baru atau fenomena yang baru muncul, akan tetapi sudah ada semenjak dulu bahkan di zaman Nabi Luth as. Sebenarnya apa itu LGBT? LGBT sendiri adalah singkatan dari “lesbian, gay, bisexual, dan transgender”. Singkatan tersebut digunakan untuk menyebut orientasi seksual seseorang atau sekelompok orang. Lesbian merujuk kepada perempuan yang menyukai sesama jenis. Gay merujuk kepada laki-laki yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis. Bisexual merujuk kepada orang yang bisa tertarik kepada laki-laki atau perempuan. Dan transgender merujuk kepada orang yang identitas gendernya berganti dari jenis kelamin saat lahir.

Menurut Munadi (2017:11) dalam bukunya yang berjudul Diskursus Hukum LGBT di Indonesia, dijelaskan bahwa kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heterosexsual, bukan saja homosexual, bisexual, atau transgender. Maka dari itu, sering kali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih mempertanyakan orientasi seksual mereka juga terwakili di dalamnya seperti LGBTQ atau GLBTQ.

Kelompok LGBT memiliki sebuah simbol berupa bendera pelangi (rainbow flag) yang menjadi cikal bakal mereka untuk bergerak, atau yang dikenal dengan sebutan “Gerakan Pelangi”. Mengadopsi warna-warna natural alam semesta yang mencerminkan kebahagiaan dan keindahan, simbol tersebut dimaksudkan untuk mengartikan indahnya keharmonisan.

Love is love” adalah ungkapan yang sangat umum digunakan oleh atau untuk kelompok LGBT. Di Barat, cinta sudah kehilangan makna. Di sana, cinta dan nafsu itu hampir tidak ada bedanya. Kalau sudah jatuh cinta, harus ada berhubungan seksualnya. Jadi, jangan terkecoh dengan definisi ‘love’ orang Barat. Love di sana itu merujuk kepada berhubungan seksual.

Definisi ‘making love’ itu bukan bercinta, tetapi berhubungan seksual. Sedangkan di sini, bercinta itu bukan berhubungan seksual, tetapi sebuah interaksi sosial yang melibatkan cinta, baik cinta antara laki-laki dan perempuan maupun cinta yang universal. Kita berbicara dengan orang lain dengan penuh cinta (universal) itu sudah bisa disebut bercinta. Jadi, jargon “love is love” yang dikoar-koarkan oleh kelompok LGBT itu sebenarnya “sex is sex”. Menghalalkan hubungan seksual dengan siapa pun.

Salah satu lagu Queen yang berjudul “Too Much Love Will Kill You” itu sebenarnya salah. Yang benar adalah “Too Much Sex Will Kill You”. Karena ‘too much love’ lebih bagus daripada ‘too much sex’. Semakin banyak cinta dapat membuat hidup menjadi lebih indah. Hal tersebut tidak akan membunuhmu. Namun, semakin banyak berhubungan seksual dapat menimbulkan sederet masalah kesehatan. Hal tersebut akan membunuhmu.

Mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek saat berkunjung ke Kota Padang, Sumatera Barat pada Februari 2016 lalu mengungkapkan bahwa LGBT tergolong sebagai masalah kejiwaan. “Dari sisi kesehatan, LGBT itu masalah kejiwaan. Beda dengan gangguan kejiwaan, kalau gangguan mereka yang tergabung di dalamnya tidak bisa berinteraksi”. Ia menegaskan perilaku homosexual dan bisexual dari sisi kesehatan tidak dibenarkan karena hal tersebut juga membuat angka penyakit di tengah masyarakat menjadi cukup tinggi.

Menurut Muhammad Quraish Shihab, orang yang menderita perilaku lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) adalah orang sakit. Mereka orang sakit yang perlu dikasihi, perlu diobati, bukan dibenci atau dimusuhi. Namun, kita berkewajiban membendung penyakit tersebut agar tidak menjangkit kepada orang lain. Salah satu upaya mengantisipasi masalah LGBT yang mengancam generasi penerus adalah memperkuat fungsi keluarga sebagai fondasi ketahanan masyarakat dan bangsa. Oleh sebab itu, Kementerian Agama Republik Indonesia perlu mendorong upaya penguatan lembaga keluarga sebagai pertahanan terhadap fenomena LGBT.

DAFTAR PUSTAKA

Munadi. 2017. Diskursus Hukum LGBT di Indonesia. Lhokseumawe: Unimal Press.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun