Plastik menjadi sarana praktis dalam membantu kegiatan sehari-hari seperti halnya membawa sayuran maupun barang lainnya, namun seiring bertambahnya jumlah produksi plastik menciptakan suatu masalah global berupa polusi plastik yang hingga kini menjadi masalah lingkungan terbesar di dunia, setiap tahun, jutaaan ton plastik dibuang kelautan yang menyebabkan pencemaran lingkungan, mengusik kehidupan laut serta menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia. Data yang dikeluarkan oleh United Nation Environmennt Programe (UNEP) menyebutkan bahwa jumlah polusi plastik di tahun 2016 mencapai 9-14ton dan berpotensi mencapai 23-27ton polusi plastik di tahun 2040, sebagaimana yang kita tahu bahwasannya plastik membutuhkan ratusan tahun untuk terurai sementara dampaknya bisa lebih lama. Situasi seperti ini akan melahirkan krisis sampah global yang bukan hanya mengancam ekosistem melainkan juga menuntut adanya perubahan dalam kebijakan hukum dan peraturan yang ada. Dalam hal ini, hukum lingkungan memainkan peran penting untuk mencari solusi dan menanggulangi polusi plastik
PENYEBAB DAN DAMPAK SAMPAH PLASTIK
Penyebab utama munculnya sampah plastik dikarenakan ketergantungan setiap lapisan masyarakat terhadap plastik terutama plastik sekali pakai, seperti kresek/kantong plastik, botol plastik, maupun kemasan makanan. Plastik memiliki banyak sekali keuntungan mulai dari mudah dibawa kemanapun, praktis dan ringan, hingga harganya yang cukup terjangkau. Namun, banyak orang mengesampingkan sifat daripada plastik yang sangat sulit terurai dan produksi yang berlebihan dapat menyebabkan pencemaran yang luar biasa. Hal ini juga diperburuk dengan rendahnya tingkat daur ulang plastik yang tersedia serta kurangnya kesadaran pribadi dari setiap lapisan masyarakat terkait bahaya plastik bagi lingkungan hidup
Dampak sampah plastik sangat merusak. Di laut, plastik sering kali tertelan oleh makhluk yang hidup di laut, yang mengakibatkan cedera atau bahkan kematian. Penyu, ikan, dan burung laut sering terperangkap dalam sampah plastik atau memakannya, yang mengganggu rantai makanan dan mengurangi keanekaragaman hayati. Demikian juga di daratan, sampah plastik mencemari tanah dan air, memperburuk kualitas lingkungan dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, mikroplastik, partikel plastik yang lebih kecil dari 5 mm, telah ditemukan dalam makanan dan air minum, yang dapat berisiko bagi kesehatan manusia.
PERAN HUKUM LINGKUNGAN DALAM MENGATASI SAMPAH PLASTIK YANG SEMAKIN TINGGI
Hukum lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam menangani sampah plastik. Berbagai kebijakan dan peraturan telah diterapkan di tingkat nasional dan internasional, meskipun penegakan hukum yang lemah dan kurangnya kesadaran masyarakat masih menjadi tantangan besar. Di indonesia sendiri, pemerintah sudah mulai mengambil langkah-langkah untuk meminimalisir sampah plastik terutama plastik sekali pakai, contohnya ialah di surabaya, pada 13 Agustus 2019 yang lalu, walikota surabaya mengeluarkan surat edaran yang menindak lanjuti Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 01 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daera Kota Surabaya Nomor 05 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Sampah dan Kebersihan di kota surabaya, untuk mengatur penggunaan plastik sekali pakai dan agar tidak merusak lingkungan serta mengurangi masalah lain seperti penumpukan sampah
Namun, tindakan tindakan seperti ini masih terbatas pada wilayah tertentu dan belum serentak ke seluruh indonesia. Hukum Lingkungan yang lebih lua dan tegas dibutuhkan guna mengatasi masalah polusi plastik ini secara nasional dan menyeluruh. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi dasar hukum yang dapat digunakan untuk menanggulangi polusi plastik, namun implementasinya perlu diperkuat. Penegakan hukum terkait pengelolaan sampah dan pencemaran plastik juga harus lebih tegas, termasuk memberikan sanksi yang lebih berat terhadap pelanggaran.
Selain itu, peran hukum internasional juga tak kalah penting. Negara-negara anggota PBB telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional, seperti Konvensi Basel yang mengatur pengelolaan limbah berbahaya, termasuk plastik. Namun, implementasi di tingkat negara anggota masih terhambat oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya koordinasi antara negara- negara dan keterbatasan sumber daya.
CONTOH KASUS SUKSES DAN SOLUSI YANG BISA DITERAPKAN
Beberapa negara telah berhasil mengurangi polusi plastik melalui kebijakan hukum yang ketat. Misalnya, Kenya menjadi salah satu negara pertama di dunia yang melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai pada 2017. Kebijakan ini diterapkan dengan sanksi yang cukup berat, yakni denda hingga 30.000 USD atau hukuman penjara 4 tahun bagi pelanggar. Hasilnya, penggunaan plastik sekali pakai di Kenya, atau lebih tepatnya di nairobi, polusi plastik menurun secara signifikan, dan sampah plastik yang mencemari lingkungan mulai berkurang.
Contoh yang lain adalah negara-negara di Eropa, layaknya Prancis dan Inggris, yang juga menerapkan kebijakan pengurangan plastik dengan mengenakan pajak atau bahkan melarang produk plastik sekali pakai. Di Inggris, kebijakan plastik sekali pakai diatur melalui program "Plastic Packaging Tax" yang mengenakan pajak pada produk plastik yang tidak dapat didaur ulang.