Mohon tunggu...
farid muttaqin
farid muttaqin Mohon Tunggu... -

Lahir di Buaran, desa lumbung padi di ujung selatan Brebes, saat ini sedang mondok di SUNY-Binghamton, NY.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjaga Memori tentang Korupsi

1 Desember 2017   14:15 Diperbarui: 1 Desember 2017   14:20 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu yang, menurut saya, sering membuat upaya pemberantasan korupsi mudah "menguap" adalah terkait mudah menguapnya ingatan kita terhadap kasus-kasus korupsi. Jangankan kasus-kasus korupsi di era Orba-nya Soeharto, kasus korupsi yang sedang dihadapi Setya Novanto saja kita sudah "lupa." Padahal, menurut saya lagi, ingatan publik yang direfleksikan dengan keterlibatan aktif "membangun wacana" menjadi kontrol penting upaya (hukum) kasus-kasus korupsi. 

Karena itu, penting sekali melakukan upaya agar ingatan kita, memori publik tentang kasus-kasus korupsi terus terjaga. Amnesia terhadap kasus korupsi melemahkan kontrol dan pengawasan publik terhadap upaya hukum kasus korupsi sekaligus membiarkan menjadi dominan wacana tentang korupsi yang diproduksi oleh para pelaku korupsi dan kroninya --termasuk pengacaranya-- yang sering kontraproduktif dengan upaya hukum yang sedang berjalan.

Kita paham, banyak direksi kekuasaan --termasuk konsolidasi dan pelestariannya-- dibangun dengan menjaga memori sebuah narasi sejarah tertentu dan narasi kekuasaan tersebut Bahkan cerita sejarah yang keliru bisa diabadikan dengan melestarikan memori publik terhadapnya. Membuat berbagai monumen, membangun meuseum, memproduksi filem, mempublikasi buku, dan media-media lain yang bisa menjadi sumber informasi tunggal yang bisa selalu menjaga memori kita tentang narasi sejarah tertentu. 

Pada rejim Orde Baru, kita punya mahaguru yang menyediakan pelajaran gratis tentang upaya menjaga kekuasaan dengan menjaga memori sejarah dan memori tentang kekuasaan ini.

"Proses pelestarian memori" inilah yang sangat penting ditiru dalam rangka menjaga memori kita tentang kasus-kasus korupsi. Jika Orde Baru bisa mudah menyulap dan memanipulasi sebuah sumur di daerah Lubang Buaya menjadi "Monumen Lubang Buaya" yang membuat akal kita tak pernah bisa bersih dari memori tentang narasi kekejaman para anggota PKI dan Gerwani, kenapa kita tak bisa menyulap tiang listrik yang penah menjadi pusat berita karena menjadi korban tabrak menjadi "monumen anti-koruptor dan anti-korupsi"? Saya ingin, setiap kali melewati tiang tersebut kita akan selalu ingat terhadap kasus korupsi dan mendorong kita melakukan "sesuatu" --seperti, minimal, membuat status yang isinya, "Apa kabar kasus SN"?

Intinya, sekali lagi, kita perlu mengumpulkan semua hal yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi, mengolahnya menjadi sumber informasi yang bisa menjaga ingatan kita tentang kasus-kasus korupsi itu. Di Jakarta, kita perlu membangun Musium Nasional Korupsi yang berisi segala hal terkait kasus korupsi. Kita perlu gedung dengan minimal 10 lantai untuk menyimpan berbagai barang mengingat banyaknya kasus korupsi. Rompi, kopeah, foto, kumis, jenggot, sepatu, sandal, sarung, tiang listrik, perban, alat infus, alat suntik, selimut, dan lain-lain. Di daerah-daerah, dibangun juga musium korupsi tingkat daerah. 

Kita juga bisa memulai dengan membangun musium virtual dengan ongkos yang lebih murah. Kita juga perlu melakukan kerja dokumentasi baik dokumentasi kasus --rekaman perjalanan setiap koruptor-- atau dokumentasi gerakan rakyat anti-korupsi --termasuk ide-ide kocak diinspirasi dari kasus-kasus korupsi.

Saya percaya, sangat banyak pikiran atau ide, dari yang simpel hingga yang susah, untuk bisa menjaga ingatan kita tentang kasus korupsi ini. Masalahnya, sejahmana kita menganggap "urusan" korupsi ini penting?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun