Mohon tunggu...
farid muttaqin
farid muttaqin Mohon Tunggu... -

Lahir di Buaran, desa lumbung padi di ujung selatan Brebes, saat ini sedang mondok di SUNY-Binghamton, NY.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengeksklusi Agama dari Poligami

17 September 2017   11:18 Diperbarui: 17 September 2017   11:48 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.kabarmakkah.com

Setiap muncul pembicaraan tentang poligami, agama selalu menjadi salah satu bagian paling dominan. Demikian, saat poligami kembali menjadi topik pembicaraan yang ramai setelah heboh kasus poligami yang dilakukan artis Opick. Lagi-lagi, agama selalu jadi poin paling dominan dalam pembicaraan tentang poligami ini. Yang pro maupun yang kontra sama-sama menjadikan (ajaran) agama sebagai referensi utama.

Saya sendiri sudah lama tidak percaya poligami ini berkaitan dengan agama terutama dalam kasus-kasus mutakhir. Kegiatan-kegiatan yang selama ini dipandang sebagai kegiatan agama, seperti shalat, sedekah, haji, umrah, "meramaikan" masjid, dakwah dan ceramah agama, konsumsi produk halal, sampai sekolah agama sudah diragukan sebagai kegiatan agama --atau murni kegiatan agama. Apalagi poligami, yang entah dari aspek apa bisa dinilai sebagai kegiatan yang berhubungan dengan agama.

Para penganut agama seharusnya aware (ngeh) dengan segala perubahan dalam banyak praktek atau kegiatan keagaman. para penganut agama seharusnya punya kemampuan analitis agar bisa menangkap berbagai indikasi bahwa banyak praktek (yang mengatasnamakan) agama sesungguhnya bukan (lagi) praktek agama.

Jika kita melihat dekat, secara kritis dan analitis, akan sulit memahami jika praktek poligami yang dilakukan para Muslim dewasa ini adalah kegiatan agama. Klaim terakhir ini bahkan (mendekati) omong kosong. Yang paling kasat mata, bagaimana mungkin wajah poligami dengan maskulinitas hegemonik --laki-laki yang mengekspresikan kebanggaan melakukan penaklukan gender dan kelas-- dipahamai sebagai praktek agama?

Mungkin banyak yang tidak aware juga bahwa praktek poligami di kalangan Muslim saat ini juga lintas gerakan pemikiran. Tidak pandang bulu: liberal, konservatif, progresif, modernis, tradisionalis, moderat, ekstrimis.... semua bisa terlibat dalam praktek poligami. Di Indonesia, kita sering menyoroti praktek poligami yang dilakukan kalangan konservatif, tradisionalis, dan "ekstrimis". Kita tidak ngeh, beberapa Muslim yang punya pemikiran liberal --tentang zakat, haji, sekularisme, bahkan tentang gender dan seksualitas dan tentang LGBT sekalipun-- juga terlibat dalam praktek poligami ini. Ini juga indikasi, poligami (kontemporer) sulit dipandang sebagai kegiatan agama; poligami kontemporer tidak punya urusan dengan agama.

Saya masih ingat, waktu tahun 2003 diselenggarakan Polygamy Award di Hotel Arya Duta, saya yang saat itu ikut demo anti-poligami menyaksikan sendiri bagaimana ide poligami berkait dengan ide tentang kekerasan. Di sana, hadir kelompok-kelompok "pengamanan pam-swakarsa" yang dengan merdeka mengancam para demonstran. Ini juga momen yang membuat saya menyadari perubahan dalam praktek poligami, yang sama sekali tidak ada urusan dengan agama.

Analisa maskulinitas, gender, seksualitas, kelas, dinamika politik, politik-ekonomi, gaya hidup, dan hal lain di luar agama lebih relevan untuk memahami dan melihat praktek poligami saat ini. Masih percaya poligami "berurusan" dengan agama, cuma karena melihat yang melakunnya pakai "baju agama"?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun