Islam adalah salah satu agama yang didalam ajaran-ajaranya mengandung banyak ajaran-ajaran bijak dalam kehidupan sehari-hari untuk umatnya dan untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Beberapa istilah pendidikan dalam islampun juga bermacam-macam. Ada fiqih, aqidah, akhlak, dan lain sebagainya.
Salah satu yang menarik dan membutuhkan perhatian ekstra pada zaman saat ini adalah akhlak. Betapa pendidikan akhlak pada masa globalisasi ini sangat tidak mendapat perhatian dari khalayak umum. Padahal akhlak memuat ajaran-ajaran moral kepada manusia. Sedangkan saat ini, krisis moral melanda berbagai wilayah.
Ajaran akhlak ini tidak melulu hanya terdapat di dalam Qur’an dan Hadits. Dalam karya satra jawa pun ada banyak yang mengajarkan tentang akhlak ini. Salah satu diantaranya adalah Serat Wulang Reh. Serat Wulang Reh merupakan karya Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV yang beliau tulis sebelum meninggal.
Lalu bagaimana jika dikaitkan dengan pranata sosial? Pranata sendiri menurut Zoetmulder (2000:846) dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia Jilid 2 memiliki arti bersikap patuh, tunduk, hormat, ramah tamah. Namun dalam hal ini pranata menjadi kata kerja, seiring berjalannya waktu, berubah menjadi kata benda yang memiliki makna peraturan atau tatana yang dipatuhi.
Betapa sangat berhubungan sekali antara islam, pranata sosial dan Serat Wulang Reh ini. Yangmana islam memiliki tatanan ajaran yang wajib diikuti, dihormati dipatuhi sesuai pengertian pranata itu sendiri. Dan Serat Wulang Reh tersebut memuat ajaran-ajaran akhlak yang memang patut untuk diikuti karena apabila di dalami lagi, ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Serat Wulang Reh merupakan ajaaran islam.
Ajaran-ajaran akhlak yang disampaikan dalam Serat Wulang Reh oleh Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV ini sangatlah bagus untuk dikaji lebih. Apalagi karena banyaknya unsur-unsur ajaran islam dan berkiblat kepada ajaran islam. Hal tersebut dapat diketahui dari kata-kata yang digunakan dalam serat tersebut.
Untuk lebih lanjutnya, contoh kecil terdapat dalam pada 3 dan 4 pupuh dhandanggula dalam Serat Wulang Reh ini, yakni :
Jroning kuran nggoning rasa jati
Nanging ta pilih ingkang uninga
Kajaba lawan tuduhe
Nora kena den awur
Ing satemah nora pinanggih
Mundhak katalanjukan
Temah sasar susur
Yen sira ayun waskitha
Sampurnane badanira puniki
Sira anggegurua
Nanging yen sira nggeguru kaki
Amiliha manungsa kang nyata
Ingkang becik martabate
Sarta kang wruh ing ukum
Kang ngibadah sarta wirangi
Sokur oleh wong tapa
Ingkang wus amungkul
Tan mikir paweweh ing lyan
Iku pantes sira guranana kaki
Sartane kawruhana
Yang memiliki arti lepas :
Di dalam qur’an itu tempatnya (ilmu) rasa yang sejati (hakiki)
Tetapi hanya orang pilihan yang mengetahui
Kecuali dengan petunjuk orang yang mengetahui
(Al-Qur’an) tidak boleh dikira-kira (dalam penafsirannya)
Yang akhirnya tak ditemukan (makna hakiki)
Akhirnya terlanjur (salah dalam menafsirkannya)
Alih-alih malah kesasar
Jika engkau ingin mengetahui (tentang qur’an) dengan benar
Agar sempurnanya dirimu
Sebaiknya engkau berguru
Jika kamu hendak berguru
Pilihlah guru yang bermartabat baik
Dan mengerti akan hukum
Yang beribadah serta wira’i
Syukur kalau (engkau) mendapatkan (guru) yang ahli tapa (tirakat)
(Yang) tidak mengharapkan pemberian (dari) orang lain
(orang) yang seperti itulah (yang) pantas kau jadikan guru
Apabila diruntut dalam tiap gatranya, begitu banyak ajaran yang terkandung di dalamnya. Dari gatra yang berbunyi jroning kuran nggoning rasa jati telah memberikan keterangan bahwasannya Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat islam ini tempatnya rasa jati, rasa yang hakiki. Bagaimana tidak, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisikan ilmu pengetahuan yang luar biasa agungnya. Semua ilmu ada di dalam Al-Qur’an. Dan ajaran-ajarannya memang mengajarkan rasa yang sejati, kepada sang hakiki, yakni ajaran dari Sang Haq untuk mencapai hidup dama sejahtera dan tentram dunia akhirat.
Nanging ta pilih ingkang uninga, yang artinya tetapi pilihlah yang (engkau ketahui). Mengapa harus begini? Bagaimana tidak, di dalam Al-Qur’an mengandung banyak ajaran-ajaran yang mana ada beberapa ajaran yang belum terurai maksud dari firman-Nya tersebut. Masih diperlukannya telaah atau biasa disebut dengan tafsir. Sedangkan untuk menafsirkan Al-Qur’an masih dibutuhkan pengetahuan yang lebih. Teruntuk orang yang masih ‘awam, sangatlah berbahaya apabila menafsirkan Al-Qur’an seenaknya sendiri sesuai kata hatinya.
Kajaba lawan tuduhe, dengan arti kecuali dengan petunjuk (dari orang yang mengetahui). Jadi untuk menafsirkan bagaimana ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an tersebut membutuhkan seorang pembimbing, karen Qur’an nora kena den awur, yakni tidak boleh sembarangan di dalam menafsirkannya.
Dalam hal tersebut akan mengakibatkan ing satemah nora pinanggih, yakni tidak akan ditemukannya maksud secara penjelasan dari ajaran yang terdapat di dalam kitab suci tersebut. Sehingga banyak sekali kejadian mundhak katalanjukan, atau akhirnya terlanjur salah di dalam menafsirkannya. Salah secara porsi sedikit dan masih bisa dibenahi tidaklah mengapa. Namun bagaimana jika menadi temah sasar susur yang artinya alih-alih malah kesasar alias sesat.
Hal ini sangatlah banyak sekali fenomenanya pada masa sekarang ini. Orang sering belajar sendiri dan memahami sendiri makna dari kitab suci tersebut, akhirnya menjadi sasar dan timbulah beberapa macam aliran-aliran islam baru. Dan hal ini sangatlah meresahkan.
Sehingga dilanjutkan dengan nasehat dalam gatra selanjutnya yaitu yen sira ayun waskitha, sampurnane ing badanira puniki, sira anggegurua. Dengan maksud apabila kamu ingin mengetahui isi sejati dari Al-Qur’an tersebut untuk menyempurnakan diri dalam artian bathiniah dan ibadah, maka disarankan untuk mencari guru.
Di manapun itu, seseorang yang belajar membutuhkan guru, terlebih dalam hal spiritual. Hal ini sangt diwajibkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Seseorang yang belajar tanpa guru diibaratkan belajar kepada syetan. Dan belajar kepada syetan pastilah akan disesatkan.
Hal ini tak dapat dipungkiri karena beberapa orang yang mengaku dia adalah utusan, nabi, waliyullah, dialah orang yang belajar tanpa guru. Belajar apapun itu, pastilah ada guru yang membimbing dan mengarahkan. Hal ini berlaku baik di pendidikan formal, non formal maupun in formal.
Dalam gatra selanjutnya juga telah diberikan nasehat bagaimana cara memilih guru yang baik. Seperti yang terdapat dalam gatra nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manungsa kang nyata. Yakni apabila kita ingin belajar sesuatu, hendaklah mencari guru yang nyata, guru yang baik dan menguasai bidang yang hendak kita gurukan. Jangan sampai salah guru. Semisal ngin belajar bahasa datang kepada guru matematika, sangat tidak sesuai.
Dan jangan melupakan dalam mencari guru itu hendaklah yang sarta kang wruh ing ukum, yakni mengetahui perihal hukum. Terlebih dalam ajaran agama, hendaklah mencari guru yang mengerti betul akan hukum. Karena tidaklah main-main dalam hal hukum ini, karena akibat keteledoran yang ditimbulkan berdampak besar dan sangsinya adalah dosa. Sangsi dosa mungkin tidaklah nampak, namun bagaimana jika masyarakat dan alam yang menghukum langsung? Sangat tidak diinginkan.
Sebagai contoh mereka yang mengaku nabi, tidaklah benar begitu adanya. Sangsi yang mereka dapatkan di dunia ini adalah hukuman penjara, dan bahkan tak ayal terkadang mendapat cibiran bahkan pukulan dari masyarakat yang tidak suka dengan apa yang dilakukannya.
Kriteria guru yang patut untuk kita berguru padanya adalah kang ngibadah sarta wirangi, yaitu mereka yang beribadah dan wira’i. Mencari seorang guru hendaknyalah mereka yang rajin dalam hal ibadah, karena dalam pupuh ini memuat ajaran agama terkhususkan pada ajaran agama islam. Mengapa ibadah? Karena di dalam islam sendiri ibadah adalah merupakan sarana seorang hamba mendekatkan diri kepada Tuhannya untuk mendapatkan rasa damai karena merasakan kasih sayang Tuhan di dalam hatinya.
Dan mengapa mencari seorang guru yang wira’i. Wira’i atau yang biasa disebut wara’ sendiri memiliki arti menjaga diri atau bersikap hati-hati dari hal yang syubhat (meragukan) dan meninggalkan yang haram. Seorang guru yang seperti itulah yang sangat luar biasa, karen akan berdampak sangat besar dalam hal kebaikan.
Selain hal tersebut, dalam mencari seorang guru juga diharapkan sokur oleh wong tapa, maksudnya adalah syukur-syukur mendapatkan guru yang ahli tapa, ahli tirakat. Karena guru yang ahli tirakat ini akan sangat menjaga diri dan hatinya dalam segala sesuatu. Dan orang yang seperti itulah patut untuk dijadikan tauladan, karena mereka mendekati pada insan kamil, yakni ingkang wus amungkul, yang sudah rajin atau bisa juga diistilahkan dalam islam istiqomah.
Guru yang dengan kriteria tersebut biasanya tan mikir pawewehing lyan, mereka tidaklah memikirkan pemberian dari orang lain. Dicontohkan mereka para kiyai yang mendidik santrinya, tidak pernah meminta santrinya untuk membayar kiyainya. Santri membayar bukanlah untuk membayar kiyai dan dzurriyahnya atau keturunannya. Namun uang dari santri tersebut dikembalikan kepada santri dalam acara haul, khataman, haflah dan lain sebagainya.
Kiyai yang nampak kaya dan santrinya banyak bukanlah dari uang santri, akan tetapi beliau-beliau ini memiliki usaha besar lainnya yang tidak banyak orang mengetahuinya.
Pada akhinya iku pantes sira guranana kaki, sartane kawruhana. Itulah pantas untuk dijadikan guru, ketahuilah semuanya. Begitulah ajaaran yang masuk dalam lingkup akhlak yang terdapat dalam Serat Wulang Reh pupuh Dhandanggula pada 3 dan 4.
Bagi orang yang berfikir tidak radiks dan fleksibel dalam menilai sesuatu hal dan menghukuminya, akan sangat menerima baik hal ini. Hal ini juga menyatakan bahwasannya antara islam dan jawa adalah memiliki banyak kesamaan. Dalam konsep pemikiran jawa, yang dicari adalah kesejahteraan hidup untuk mencapai kebahagiaan. Salah satu langkahnya adalah dengan mempelajari kitab suci tersebut.
Pun dalam islam juga telah ditegaskan sesiapa yang dengan baik mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya akan dijamin hidupnya bahagia dan masuk surga. Hingga pada akhirnya, ajaran-ajaran tersebut menjadi langkah kebudayaan hidup atau biasa disebut folkways yang menjadi custom atau kewajiban dalam kesatuan yang bulat. Kewajiban yang tertuang di sini adalah menuntut ilmu dan mencari guru yang baik, sesuai kriteria guru.
Hal ini biasanya dilakukan oleh golongan santri, yang merupakan golongan masyarakat dipandang dari sudut agama. Apabila dari golongan sosial jawa maka kalangann bangsawanlah yang menggunakan pelajaran ini. Karena pada zaman dahulu karya sastra ini hanya sebatas kalangan keraton saja. Sedangkan saat ini sudah bisa dinikmati khalayak umum.
Apabila dikaitkan dengan ragam fungsinya, hal ini termasuk dalam ragam pranata sosial bidang pendidikan. Begitulah sekiranya sedikit yang dapat diambil pelajaran dari pupuh Dhandanggula pada 3 dan 4 Serat Wulang Reh ini. Dengan harapan menambah wawasan dan berharap syukur dapat diamalkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dan semoga menjadi ilmu yang barokah serta manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H