Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki luas yang sangat besar. Terdiri dari 17.380 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Luas wilayah Indonesia pula tercatat sebesar 1.904.569 kilometer persegi, dan menempati posisi ke-15 sebagai negara terbesar di dunia. Dengan luas wilayah geografis yang cukup besar, dalam ranah kesehatan, distribusi tenaga kesehatan merupakan salah satu tantangan utama dalam sistem kesehatan Indonesia. Meskipun jumlah tenaga medis, termasuk dokter dan perawat, terus bertambah setiap tahunnya, konsentrasinya masih terpusat di wilayah perkotaan. Daerah terpencil dan perbatasan seringkali kekurangan tenaga kesehatan, mengakibatkan masyarakat di wilayah tersebut tidak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Kondisi ini memperburuk ketimpangan kesehatan nasional dan menghambat pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya dalam menjamin akses universal terhadap layanan kesehatan dan target-target kesehatan nasional lainnya.
Berdasarkan data Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI SDMK) Kementerian Kesehatan per 7 Februari 2024, tercatat masih terdapat 8.648 kekurangan tenaga kesehatan di Puskesmas. Rinciannya meliputi 428 Puskesmas yang tidak memiliki dokter, 2.995 Puskesmas kekurangan dokter gigi, 5 Puskesmas tanpa perawat, 47 Puskesmas kekurangan bidan, 797 Puskesmas tanpa tenaga promosi kesehatan, 1.493 Puskesmas kekurangan tenaga sanitasi lingkungan, 959 Puskesmas tanpa tenaga gizi, 681 Puskesmas kekurangan tenaga farmasi, dan 1.243 Puskesmas tanpa Ahli Teknologi Laboratorium Medik. Masalah utama yang mendasari kondisi ini adalah maldistribusi serta rendahnya retensi tenaga kesehatan di daerah.
Pemerataan kesehatan merujuk pada distribusi yang adil dari sumber daya kesehatan, termasuk tenaga kerja, fasilitas, dan layanan, sehingga setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas. Dalam konteks Indonesia, pemerataan ini berarti memberikan akses layanan kesehatan yang setara bagi penduduk di wilayah terpencil maupun perkotaan. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur pemerataan pelayanan kesehatan meliputi adalah rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk di suatu wilayah, cakupan pelayanan kesehatan esensial (imunisasi dan perawatan ibu hamil), dan tingkat aksesibilitas pelayanan kesehatan berdasarkan jarak dan waktu tempuh. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan redistribusi tenaga kesehatan, termasuk dokter dan perawat, guna memastikan layanan kesehatan dapat diakses oleh masyarakat di daerah terpencil.
Terdapat berbagai kebijakan dan fenomena yang mempengaruhi manajemen tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia. Pemerintah pusat memiliki keterbatasan dalam hal kewenangan untuk melakukan redistribusi tenaga medis dan kesehatan ke fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah daerah. Pengisian tenaga medis dan tenaga kesehatan oleh pemerintah pusat bersifat sementara. Jumlah formasi untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), baik CPNS maupun PPPK, sangat terbatas. Pemenuhan kebutuhan melalui redistribusi oleh pemerintah daerah belum terealisasi. Banyak daerah yang berharap agar kebutuhan tenaga medis dan kesehatan dapat dipenuhi oleh pemerintah pusat melalui program Nusantara Sehat, penugasan khusus untuk residen, Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS), dan intership.
Salah satu tumpuan utama dalam pemerataan tenaga kesehatan saat ini adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. UU ini memberikan landasan hukum yang lebih kokoh untuk mendukung pemerataan tenaga kesehatan di seluruh Indonesia. Dalam UU ini, terdapat penekanan pada penguatan sistem perencanaan dan redistribusi tenaga kesehatan berbasis kebutuhan masyarakat, dengan prioritas pada wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Selain itu, UU ini mengamanatkan pengembangan insentif yang lebih kompetitif bagi tenaga kesehatan yang bersedia bekerja di daerah terpencil, termasuk insentif finansial, non-finansial, dan penghargaan karier.
Selain UU Nomor 17 Tahun 2023, beberapa regulasi lain juga mendukung upaya pemerataan tenaga kesehatan, seperti Permendagri No. 68 Tahun 2014 dan Permenkes No. 61 Tahun 2014. Kedua peraturan ini memberikan pedoman teknis bagi pemerintah daerah dalam merencanakan dan mendistribusikan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah daerah. Permendagri No. 68 Tahun 2014, misalnya, menekankan pentingnya pemetaan kebutuhan tenaga kesehatan berdasarkan data demografis dan epidemiologis di setiap daerah. Sementara itu, Permenkes No. 61 Tahun 2014 mengatur mekanisme penempatan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan.
Meskipun begitu, masih terdapat 4.892 (47,9%) Puskesmas yang belum memiliki kelengkapan 9 (sembilan) jenis tenaga kesehatan sesuai dengan standar. Hal ini tercermin dari capaian indikator persentase Puskesmas yang memiliki jenis tenaga kesehatan sesuai standar, yang menjadi salah satu sasaran utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di bidang kesehatan. Sayangnya, capaian tersebut mengalami stagnansi dari tahun 2022 ke 2023, tetap berada di angka 56%.Â
Transformasi kebijakan penempatan tenaga kesehatan bertujuan untuk memastikan pemenuhan hak akses kesehatan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) di Indonesia. Salah satu langkah yang diambil adalah pengiriman tenaga kesehatan ke puskesmas melalui berbagai skema. Ini merupakan upaya pemerintah untuk mendekatkan akses layanan kesehatan ke masyarakat. Gambar 1 menggambarkan perubahan program pengadaan tenaga kesehatan di daerah terpencil Indonesia oleh pemerintah sejak tahun 1951 hingga 2013, dimulai dari Wajib Kerja Sarjana (WKS) hingga Pegawai Tidak Tetap (PTT).Â
Sejak 1951, kebijakan terkait tenaga kesehatan di DTPK difokuskan pada pengiriman individu untuk mengisi kekosongan tenaga kesehatan (terlihat pada Gambar 1). Langkah-langkah yang diambil meliputi: pertama, pengisian formasi PNS; kedua, penugasan Pegawai Tidak Tetap (PTT); dan ketiga, penugasan khusus bagi tenaga Diploma III kesehatan dengan paket insentif keuangan (Kemenkes RI, 2010). Dalam program PTT dan Penugasan Khusus, pemerintah hanya melaksanakan seleksi administrasi dan penempatan, tanpa ada persiapan khusus atau target yang harus dicapai oleh tenaga yang dikirim. Pengiriman tenaga kesehatan yang hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan tenaga kerja saja tidak akan mampu mengatasi tantangan kesehatan di masa depan, yaitu pemerataan kualitas dan layanan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Terkhusus dalam kebijakan pemerataan dokter spesialis, Indonesia juga memiliki berbagai program yang menyasar, yakni adalah sebagai berikut:
1. Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS)