Rokok elektrik atau vape pertama kali diperkenalkan pada tahun 2003 oleh sebuah perusahaan asal Cina sebagai inovasi dari rokok konvensional. Tidak lagi menghasilkan asap tembakau, vape bekerja dengan memanaskan cairan perasa hingga menghasilkan uap, sebuah aktivitas yang dikenal dengan istilah vaping. Produk ini hadir dengan berbagai nama dagang seperti e-cigarro, green-cig, dan smartsmoker, yang memberikan kesan modern dan futuristik. Meskipun awalnya diciptakan untuk membantu perokok tembakau mengurangi kecanduan, vape berkembang menjadi tren tersendiri, khususnya di kalangan remaja. Di Indonesia, vape mulai dikenal pada tahun 2010, namun baru populer pada 2013-2014 ketika masyarakat mulai tertarik dengan teknologi rokok elektrik ini. Â
Menariknya, tren penggunaan vape tidak hanya sekedar merokok, tetapi juga menciptakan gaya hidup "kekinian" yang erat kaitannya dengan kreativitas dan simbol status sosial. Remaja sering memamerkan kreasi uap vape melalui berbagai trik atau konten media sosial, membuatnya terlihat lebih modern dan menarik. Data terbaru Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat peningkatan signifikan pengguna vape di Indonesia, yakni 10 kali lipat dibanding 2011. Tren ini berkembang di tengah menurunnya prevalensi perokok tembakau dari 9,1 persen pada 2018 menjadi 7,4 persen di 2023. Berdasarkan data hasil survei Statista pada Desember 2022, 44 persen pengguna vape di Indonesia didominasi oleh usia muda yaitu 18 - 29 tahun dan disusul 37 persen oleh golongan usia 30 - 39 tahun.Â
Popularitas vape di kalangan remaja disebabkan karena minimnya informasi mengenai bahaya penggunaan rokok elektrik. Para remaja biasanya mendapatkan informasi hanya sebatas dari teman sebayanya, tanpa mencari tahu lebih lanjut mengenai dampak dan kandungan apa saja yang terdapat dalam cairan rokok elektrik tersebut. Tidak hanya pengaruh dari lingkungan teman sebaya, sebagian besar remaja percaya bahwa rokok elektrik lebih aman dibandingkan rokok konvensional, selain karena asap yang ditimbulkan tidak berbahaya bagi kesehatan, rokok elektrik dianggap sebagai alternatif untuk berhenti merokok. Selain itu, kemudahan akses untuk membeli rokok elektrik menjadi peran penting terkait tingginya penggunaan rokok elektrik pada remaja. Harganya yang masih terjangkau, berbagai macam rasa, dan desain yang menarik menambah popularitas rokok elektrik di kalangan remaja. Namun, dibalik popularitasnya, muncul kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap kesehatan, terutama bagi generasi muda yang terjebak dalam tren tanpa memahami risiko di baliknya.Â
Cairan pada rokok elektrik umumnya terdiri dari humektan, perasa, serta dapat mengandung nikotin dan zat aditif lainnya seperti cannabinoid dan tetrahydrocannabinol (THC). Ketika cairan ini dipanaskan, uap yang dihasilkan memberikan pengalaman serupa dengan merokok konvensional. Penggunaan rokok elektrik sering dianggap lebih aman karena tidak melibatkan proses pirolisis tembakau. Namun, penelitian menunjukkan bahwa beberapa zat berbahaya dapat terbentuk akibat dekomposisi senyawa yang berpotensi merugikan kesehatan manusia (Besaratinia & Tommasi, 2020; Marques et al., 2021).Â
Analisis kimia terhadap cairan dan uap rokok elektrik telah mengungkap keberadaan racun dan zat karsinogen yang mirip dengan yang ada pada asap tembakau, meskipun dalam kadar lebih rendah (Besaratinia & Tommasi, 2020). Cairan yang digunakan untuk menghasilkan uap ini dikenal sebagai e-liquid, yang umumnya mengandung tiga komponen utama: agen psikoaktif, pelarut, dan senyawa perasa. Ketiga komponen tersebut memiliki potensi risiko terhadap kesehatan, baik secara langsung maupun melalui interaksi antar zat tertentu (Overbeek et al., 2020).
Penggunaan rokok elektrik atau vape telah dikaitkan dengan sejumlah penyakit paru-paru yang serius, salah satunya adalah E-cigarette or Vaping Product Use-Associated Lung Injury (EVALI). Menurut laporan CDC pada November 2019, terdapat 1.479 kasus EVALI yang terverifikasi di Amerika Serikat, dengan puncak kasus terjadi pada September 2019. Penyebab utama EVALI adalah emulsi tetrahydrocannabinol (THC) dan vitamin E asetat yang ditemukan dalam cairan paru pasien. Gejala EVALI meliputi sesak napas, batuk, nyeri dada, serta tanda-tanda inflamasi pada radiografi paru. Diagnosis EVALI memerlukan riwayat penggunaan vape dalam 90 hari terakhir, bukti infiltrasi bilateral pada radiografi, serta ketiadaan penyebab lain yang jelas.
Selain EVALI, penggunaan rokok elektrik juga memperburuk penyakit paru obstruktif kronis, termasuk asma. Studi terhadap 2.086 remaja menunjukkan bahwa pengguna vape dua kali lebih mungkin mengalami gejala bronkitis dibandingkan yang tidak menggunakan vape. Pada model hewan, paparan asap vape memicu hiperaktivitas saluran napas, peradangan, dan pembesaran saluran napas distal. Perokok pasif juga berisiko mengalami eksaserbasi asma akibat paparan zat iritan dalam asap vape. Sindrom bronkiolitis obliterans yang disebabkan oleh paparan bahan kimia dalam vape dapat mengakibatkan penyempitan saluran napas yang tidak dapat dibalik dan menimbulkan komplikasi serius.
Penggunaan zat perasa dalam rokok elektrik, seperti menthol, juga dapat memberikan efek toksik pada jaringan paru dan meningkatkan risiko kanker. Menthol diketahui memodulasi metabolisme nikotin dan merangsang reseptor yang memicu kerusakan DNA. Zat ini menginduksi inflamasi melalui aktivasi monosit dan pelepasan sitokin proinflamasi, yang memperparah stres oksidatif pada sel paru. Aktivasi jalur inflamasi ini berpotensi menyebabkan neoplasma dan meningkatkan risiko kanker paru pada pengguna jangka panjang. Kasus nyata menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan vape berisiko mengalami penurunan fungsi memori yang diduga terkait dengan area prefrontal cortex, hippocampus, dan thalamus di otak. Selain itu, penggunaan nikotin pada usia muda dapat meningkatkan konsentrasi intra synaptic dopamine, yang berpotensi menimbulkan gangguan tidur dan meningkatkan risiko kecanduan.Â
Melihat isu ini, rokok elektrik merupakan barang yang harus diawasi dan diatur peredarannya. Oleh karena itu, pemerintah mulai mengenakan cukai pada rokok elektrik sejak tahun 2018. Pemerintah melalui peraturan menteri keuangan telah mengatur regulasi berkaitan dengan tarif cukai No. 192/PMK.010/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya. Pada tahun 2022 pemerintah juga menaikkan cukai rokok dengan kenaikan rata-rata sebesar 10% yang berlaku pada tahun 2023 dan 2024. Selain itu, pemerintah telah mengatur regulasi berkaitan dengan pengendalian produk rokok elektrik dan tembakau melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Tahun 2024. Peraturan ini mencakup larangan penjualan eceran, larangan berjualan di tempat yang sering dilalui, ketentuan kemasan produksi tembakau dan rokok elektrik, hingga melarang penjualan produk tembakau dan rokok elektronik kepada setiap orang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil. Meskipun berbagai regulasi telah diterapkan, beberapa pihak menilai bahwa aturan mengenai rokok elektrik atau vape di Indonesia masih memerlukan penegasan lebih lanjut untuk mencegah daya tarik produk ini pada remaja.Â
Dalam menghadapi situasi ini, diperlukan langkah tegas untuk melindungi kesehatan remaja Indonesia. Meskipun regulasi terkait vape telah diberlakukan, seperti pengenaan cukai dan pembatasan penjualan, implementasi yang lebih ketat dan edukasi publik sangat dibutuhkan. Sosialisasi pencegahan penggunaan vape dapat dilakukan sedini mungkin melalui berbagai metode, seperti penyuluhan di sekolah, kampanye anti-vape, serta melibatkan orang tua dalam mendidik anak-anak mengenai bahaya menggunakan vape. Pemerintah, sekolah, dan keluarga harus berkolaborasi memberikan informasi yang akurat mengenai bahaya vape serta membangun kesadaran di kalangan remaja. Dengan mengedepankan pendekatan preventif, generasi muda dapat terhindar dari bahaya kesehatan jangka panjang akibat penggunaan vape, sekaligus menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bebas dari pengaruh negatif tren ini.
REFERENSI