Setiap pagi, Sofkhiana bersama suaminya sudah bersiap untuk berjualan wingko babat di Malioboro. Dengan menggunakan sepeda motor sespan yang dimodifikasi, mereka berkeliling menawarkan jajanan khas Jawa Tengah itu. Di balik senyum ramah mereka, tersimpan kisah perjuangan yang penuh haru.
Di balik keriuhan Malioboro, tersimpan kisah inspiratif dari pasangan suami istri, Sofkhiana dan suami. Keterbatasan fisik tak menyurutkan langkah mereka untuk berjuang menghidupi keluarga. Setiap hari, dengan senyum merekah, mereka menjajakan wingko babat kepada para wisatawan. Sofkhiana dan Rohmad adalah pasangan disabilitas yang gigih berjualan wingko babat di Malioboro. Sofkhiana mengalami keterbatasan pada kakinya sehingga harus menggunakan kursi roda, sementara sang suami memiliki keterbatasan jarak pandang. Mereka memutuskan berjualan wingko babat karena makanan ini tidak mudah basi dan banyak diminati wisatawan. Sofkhiana, yang harus bergantung pada kursi roda, dan Rohmad dengan keterbatasan jarak pandang, membuktikan bahwa disabilitas bukanlah penghalang untuk meraih mimpi.
"Awalnya kami ragu, tapi melihat banyak wisatawan yang suka dengan wingko babat, kami jadi semangat," ujar Sofkhiana. Setiap pagi, mereka berangkat dari rumah dengan sepeda motor yang sudah dimodifikasi untuk menampung kursi roda Sofkhiana. Dengan cekatan, Suami Sofkhiana mengendarai motor sambil sesekali meminta petunjuk arah kepada istrinya. “Sebelumnya kami sempat berjualan serabi solo, namun karena masa pandemi dan serabi mudah basi, penjualan kurang lancar," ujar Sofkhiana. "Oleh karena itu, kami beralih ke wingko babat yang lebih tahan lama." Dulu, Sofkhiana mengaku sempat membawa 10 hingga 15 tas wingko babat setiap harinya. "Namun, seiring berjalannya waktu dan penurunan daya beli masyarakat, kami hanya mampu membawa 5 tas saja. Yang penting, dagangan laku dan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari," tambahnya.
Sofkhiana dan suaminya berjualan di Malioboro setiap hari Senin hingga Sabtu, mulai pukul 08.00 hingga 11.00 WIB. Mereka harus membagi waktu agar bisa menjemput anak pertama mereka pukul 12.00 WIB. Setiap pagi, mereka berangkat bersama anak-anak menggunakan sepeda motor yang dilengkapi gerobak kecil untuk Sofkhiana. Karena suaminya memiliki keterbatasan jarak pandang, Sofkhiana berperan sebagai navigator selama perjalanan. Perjalanan mereka tidak selalu mulus. Cuaca ekstrem, persaingan dengan pedagang lain, dan kondisi fisik yang terbatas menjadi tantangan tersendiri. Namun, semangat mereka tak pernah padam. "Yang penting kita berusaha, hasilnya kita serahkan kepada Tuhan," tambah .
Kisah Sofkhiana dan suami mengajarkan kita bahwa semangat juang yang tinggi mampu mengatasi segala rintangan. Meskipun memiliki keterbatasan fisik namun bukan alasan untuk menyerah, melainkan menjadi motivasi untuk terus berjuang. Mungkin kita tidak memiliki keterbatasan fisik seperti mereka, namun kita semua pasti pernah mengalami kesulitan. Kisah Sofkhiana dan suami akan mengingatkan kita untuk selalu bersyukur dan menghargai setiap nikmat yang Tuhan berikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H