Raden Ajeng Kartini atau R.A Kartini, adalah seorang perempuan asal Jepara yang lahir pada 21 April 1879. Kartini merupakan keturunan bangsawan, oleh karena itu gelar Raden Adjeng disematkan kepadanya. Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosoningrat dan M.A Ngasirah. Â Ayah Kartini adalah bupati Jepara saat itu. Ayah dan Ibu Kartini menikah pada tahun 1872. Namun, sang Ayah menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan atau Moerjam, puteri Bupati Jepara pada 1875.
Sejak kecil, Kartini menunjukkan minat yang besar terhadap buku dan pengetahuan. Ia sering membaca buku-buku dalam bahasa Jawa dan Belanda, termasuk karya-karya penulis Barat yang membahas tentang hak asasi manusia dan emansipasi perempuan. Kecintaannya terhadap membaca dan menulis ini menjadi dasar bagi pemikirannya di masa dewasa.
Kartini mulai bersekolah di ELS (Europese Lagere School) pada usia 12 tahun, di mana ia belajar bahasa Belanda. Pendidikan formalnya terbatas, karena pada usia 12 tahun, ia harus berhenti sekolah karena tradisi yang mengharuskan perempuan dari kalangan bangsawan untuk menikah di usia muda. Meskipun demikian, Kartini memiliki semangat besar untuk belajar dan terus membaca buku-buku yang tersedia, baik dalam bahasa Jawa maupun Belanda. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Barat, terutama tentang hak asasi manusia dan emansipasi perempuan.
Di usianya yang sangat muda yakni 12 tahun, Kartini dijodohkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, yang saat itu menjabat sebagai bupati Rembang. Mereka menikah pada tanggal 8 November 1903. Meskipun Kartini harus menjalani kehidupan sebagai istri seorang pejabat, ia tetap berjuang untuk mendapatkan pendidikan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Dari pernikahannya, Kartini dikaruniai seorang putra yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat, yang lahir pada 13 September 1904.
Kartini mulai menulis surat kepada teman-teman Belandanya, yang kemudian dikenal sebagai "Surat-surat Kartini". Dalam surat-surat tersebut, ia mengungkapkan pemikirannya tentang pendidikan, emansipasi perempuan, dan kritik terhadap sistem patriarki yang mengekang perempuan. Ia menginginkan agar perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki dan memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Surat-surat RA Kartini kemudian diterbitkan setelah kematiannya dalam bentuk buku berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" (1911). Buku ini menjadi salah satu karya penting yang menginspirasi gerakan perempuan di Indonesia.
Kartini sangat percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mencapai kesetaraan. Ia berjuang untuk hak perempuan mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Dalam surat-suratnya, ia sering menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan mereka. Ia menyadari bahwa tanpa pendidikan, perempuan tidak akan bisa berkontribusi secara penuh dalam masyarakat.
Kartini menentang praktik-praktik tradisional yang membatasi peran perempuan dalam masyarakat. Ia mengkritik sistem patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan mengharuskan mereka untuk mengikuti norma-norma sosial yang mengekang. Dalam surat-suratnya, ia mengungkapkan keinginannya untuk melihat perempuan memiliki kebebasan dalam menentukan nasib mereka sendiri.
Kartini tidak hanya berbicara tentang hak-hak perempuan, tetapi juga berusaha menggerakkan masyarakat untuk menyadari pentingnya kesetaraan gender. Ia berusaha untuk menyebarkan pemikirannya kepada kalangan bangsawan dan masyarakat umum, berharap dapat mengubah pandangan mereka terhadap perempuan. Melalui tulisan-tulisannya, ia mengajak perempuan untuk bangkit dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Kartini menjalin hubungan dengan beberapa tokoh Belanda yang progresif, yang mendukung pemikirannya tentang pendidikan dan emansipasi perempuan. Melalui hubungan ini, ia mampu menyebarkan ide-ide progresif yang kemudian menjadi inspirasi bagi gerakan perempuan di Indonesia. Semangat Kartini untuk pendidikan perempuan menginspirasi banyak orang untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi perempuan.
Kartini wafat pada 17 September 1904, pada usia yang sangat muda, yaitu 25 tahun. Alasan wafatnya adalah karena komplikasi setelah melahirkan anak pertamanya, yang juga meninggal dunia. Pada masa itu, kondisi medis dan perawatan kesehatan untuk ibu hamil dan melahirkan masih sangat terbatas, sehingga risiko komplikasi cukup tinggi. Kematian Kartini merupakan kehilangan besar bagi gerakan emansipasi perempuan di Indonesia, tetapi pemikirannya dan warisannya terus hidup dan menginspirasi banyak orang hingga saat ini.