Mohon tunggu...
Farida Farah
Farida Farah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

UU MD3, Menjaga Kehormatan atau Menutupi Kebobrokan DPR?

21 Februari 2018   11:28 Diperbarui: 21 Februari 2018   16:08 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: metrobatam.com

Pengesahan Undang-Undang mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau dikenal sebagai UU MD3 pada tanggal 12 Februari 2018 menuai banyak kecaman dari masyarakat. UU ini dianggap membungkam kebebasan demokrasi. Terdapat pasal-pasal yang sangat jelas melanggar prinsip demokrasi dan hukum. Ada tiga poin utama yang menunjukkan hal ini.

Pertama, pasal 122 k. Pasal ini mengatur bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR. Lalu pasal 245. Pasal ini mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR harus melalui pertimbangan MKD terlebih dahulu sebelum diteruskan kepada presiden. Terakhir, pasal 73. 

Pasal ini mengatur hak DPR untuk memanggil paksa siapa pun yang enggan datang pada saat dipanggil DPR dengan bantuan aparat kepolisian. Bahkan polisi berhak menyandera orang yang enggan datang tersebut selama 30 hari.

Jelas terdapat keganjilan dalam pasal-pasal tersebut. Hal ini menunjukkan DPR seolah tak mau di kritisi. Hal ini menjadi ironis ketika mereka selalu mengelukan diri mereka sebagai wakil rakyat namun kini mereka bahkan tidak mau mendengar suara rakyat. Rakyat tidak bodoh. Tentu akan banyak spekulasi yang muncul merujuk pada kesimpulan bahwa UU MD3 dibuat hanya demi kepentingan DPR. Lebih ironis lagi, tahun ini tepat dua dekade setelah berakhirnya reformasi. Demokrasi adalah hal terindah yang didambakan rakyat setalah berpuluh tahun dibungkam Soeharto. Namun DPR yang mengaku sebagai wakil rakyat justru ingin mencabut kenikmatan tersebut.

Terlebih lagi, peraturan ini berlaku untuk semua pihak, tidak terkecuali pers. Pers merupakan sarana rakyat untuk mengetahui keadaan politik dan beraspirasi mengumpulkan opini serta keyakinan. Bagaimana aspirasi rakyat bisa diteruskan bila pers pun ikut dibungkam? Mengenai hal ini Ketua DPR Bambang Soesatyo telah memberikan jaminan pada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) usai bertemu dengan pengurus PWI pada hari Selasa (20/02/18) di Kantor PWI, Gedung Dewan Pers, Jakarta. 

Bambang mengatakan bahwa ia menjamin kebebasan pers dapat tetap hidup dan berjalan seperti biasanya di DPR. Bambang menuturkan dia yakin pers dapat membedakan antara kritik, ujaran kebencian, dan penghinaan sehingga pers tidak akan terjerumus dalam UU MD3 ini. Tetap saja, pernyataan ini hanya seolah ucapan manis untuk menutupi kepahitan fakta di baliknya. 

Kalimat merendahkan kehormatan sangat subjektif. Melihat temperamen DPR selama ini, sangat mungkin kritik biasa sekalipun dapat dianggap sebagai merendahkan kehormatan.

Sebenarnya inti masalah ini bisa dilihat secara gamblang. DPR banyak melakukan hal yang bertentangan dengan kemauan rakyat dan mereka takut terus di kritik. Contoh paling simpelnya saja, anggaran DPR untuk 'plesir' ke beberapa benua. Tidak ada tujuan yang jelas dan hasil yang konkrit dari kegiatan ini. Sedangkan biaya yang dihabiskan sangatlah besar. 

Tentu akan ada banyak pertanyaan yang dilontarkan pada mereka. Bila DPR memiliki dasar yang jelas dan konkrit untuk tiap agenda mereka, tentu mereka tak perlu khawatir akan pertanyaan dan kritik yang ditujukan pada mereka. Mereka bisa menjawab dengan pasti dan menghilangkan spekulasi buruk atas mereka.

Namun jika langkah yang DPR ambil justru upaya melarikan diri seperti pembentukan UU MD3 seperti ini, maka kualitas DPR sangat perlu dipertanyakan. Konsistensi bukti dari janji mereka di awal seolah tak ada. Lembaga yang seharusnya mewakili demokrasi justru mencederai demokrasi itu sendiri. Bila yang mereka inginkan adalah membungkam masyarakat, secara tidak langsung DPR telah mengakui kebobrokannya sendiri.

Keganjilan ini nampaknya juga disadari oleh Presiden RI, Joko Widodo. Pada hari Selasa (20/02/18) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly menyampaikan bawa Jokowi merasa kaget dengan revisi UU MD3 tersebut dan ada kemungkinan tidak akan menandatangani. Hal ini semakin menunjukkan keganjilan mengingat seharusnya sudah ada pemahaman dan kesimpulan yang sama dari pihak legislatif dan eksekutif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun