by Farid Abdullah
Jika kita melakukan riset dadakan, seperti survey informal terhadap teman-teman, pejabat pemerintah, akademisi, dan media tentang adanya militansi terorisme organisasi sayap kiri, mungkin jawaban yang diperoleh adalah penyangkalan, tidak percaya atau jawaban-jawaban klise ketidakpedulian. Sebagian besar pemimpin politik sangat rentan terhadap ketidakpedulian terhadap potensi gerakan bawah tanah, seperti halnya jihadis, yang mulai tumbuh dan mempunyai keanggotaan yang semakin berkembang sebagai bentuk-bentuk terorisme baru di Indonesia. Gerakan bawah tanah ini memang masih dalam tahap awal evolusinya, namun perseberangan ideologi sudah terjadi jauh sebelumnya.
Saat ini, beberapa media dipenuhi oleh pemberitaan tindakan heroik yang dilakukan oleh ‘green warriors’ (aktivis hutan) namun ditangkap oleh Pemerintah Rusia. Sebuah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh LSM internasional menujukan kemarahan demostrannya dengan mengacungkan spanduk-spanduk bertuliskan, “Aktivis bukanlah kriminal”. Beberapa spanduk lain juga mengatakan, “Aktivis bukan pembunuh”. Namun tidak pada kenyataanya. Beberapa aktivis memang melakukan pembunuhan. Hal tersebutlah yang membuat tindakan aktivis menjadi tindakan kriminal.
Di Sumatera, pada tangal 27 September, Kantor Kejaksaan mengumumkan tuduhan setingkat pembunuhan terhadap salah satu pimpinan organisasi militan yang merupakan bagian dari Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dakwaan terhadap aktivis lokal yang sudah berusia 30an ini merupakan suatu hal yang mengejutkan. Pertama, pembunuhan tersebut merupakan pembunuhan berencana dimana hukuman yang dapat dijatuhkan adalah pidana seumur hidup hingga hukuman mati. Kedua, didalam surat dakwaan, kasus tersebut melibatkan 16 orang yang tergabung dalam bentuk baru terorisme. Penangkapan dan dakwaan tersebut masih dalam proses.
Untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai bentuk baru terorisme yang berupa ‘perang rakyat’. Dengan menggunaka mantel aktivitas pejuang lingkungan, Indonesia seperti ‘diserang’ oleh skenario kiamat lingkungan yang menjadi acuan titik pandang ‘kacamata kuda’ para militan lingkungan. Untuk beberapa alasan beberapa LSM menerima aksi kekerasan yang dilakukan para militan tersebut secara membabi-buta, tanpa pengawasan. Walaupun tersangka dalam kasus pembunuhan tersebut merupakan bagian dari partai yang sekarang beraliansi dengan salah satu kandidat Presiden berikutnya, aktivis militan seperti ini sudah aktif di Indonesia sejak lama.
Pemerintah Indonesia sudah terlalu lama mengabaikan unsur-unsur kekerasan yang menjadi bagian dalam organisasi masyarakat sipil –atau ormas- yang seharusnya merupakan organisasi masyarakat anti-kekerasan. Di Sumatera, kasus ini menjadi semakin menarik dengan adanya pimpinan daerah PRD yang berpose dengan senjata ‘ala Lee Oswald Harvey’. Pimpinan daerah PRD tersebut kemudian terpilih sebagai dewan pengawas salah satu LSM asing.
Jikalahari, seperti memainkan pemeran intelijen bagi LSM-LSM asing yang memungkinkan sebagian besar LSM asing tersebut untuk beroperasi di Indonesia dan menkoordinasikan agendanya. Mereka secara rutin berbagi informasi dengan aktivis asing. Meskipun menggunakan nama lokal, LSM ini secara rutin didanai oleh World Wildlife Fund (WWF) dan sebuah LSM Finlandia yang tetap membuat mereka sebagai entitas atau lembaga asing. Diantara jajaran kepengurusan Jikalahari, adalah pemimpin PRD wilayah Riau yang dituduh sebagai pemimpin aksi pembunuhan berencana tersebut. Para aktivis seperti juru kampanye hutan untuk Greenpeace, mantan Direktur Eksekutif Walhi, dan manajer media Jikalahari rutin melakukan komunikasi dengan pimpinan daerah PRD tersebut yang juga merupakan ketua Kelompok Advokasi Riau (KAR). Sangat sedikit bahkan tidak ada pengawasan untuk menghindari adanya militan dalam basis mereka.
Dakwaan terhadap dua anggota grup militan yang tertangkap ini akan menimbulkan pertanyaan bagi pejabat yang berwenang, counter-terorisme, dan pembuat kebijakan untuk mulai melakukan studi mengenai intrik atau agenda LSM-LSM yang ada di Sumatera. Jika pemerintah menyatakan mereka sebagai kaum sosialis fundamental, maka para militan tersebut akan menjadi teroris lingkungan pertama sebagai militan sayap kiri yang diadili karena pembunuhan berencana.
Selain itu, keterlibatan pihak asing juga harus digarisbawahi dalam kejadian ini. Terdapat rumor yang telah lama berdengung bahwa LSM-LSM asing sedang membidik pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan Indonesia melalui ‘black campaign’ seperti yang dinyatakan oleh Sofyan Wanadi baru baru ini. Yang lebih mengerikan adalah bentuk protes ini diluncurkan dengan Forest Stewardship Council (FSC) the Rainforest Action Network, WWF Indonesia, dan Greenpeace menyatakan bahwa aktivis-aktivis tersebut murni merupakan ‘demonstran masyarakat’. John Vidal, dari UK Guardian, menyebutkan pertarungan ini merupakan perjuangan penting bagi peradaban. Sangat sulit mempercayai bahwa ketiga LSM asing ini sebenarnya tidak mengetahui sama sekali gerakan militan melihat sebagian besar aktivis di Riau terkait hubungan pertemanan dan rekanan yang terjalin diantara mereka sejak lama. Dan, hal tersebut bukanlah perjuangan bagi peradaban. Terlepas dari retorika yang di sampaikan the Guardians, kasus ini murni merupakan kasus pembunuhan.
Di Amerika Serikat, terdapat kasus dimana seorang aktivis dari Rainforest Action Network di nyatakan sebagai militant dimana pada tahun 2010 harus menjalankan enam bulan hukuman penjara karena keterlibatannya pada sebuah kerusuhan, dan sekarang juga harus menjalani hukuman 1,5 tahun penjara atas tindakan eco-sabotage (sabotase atas nama lingkungan) yang dilakukannya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah keuntungan yang diperoleh LSM tersebut atas pembunuhan yang dilakukan aktivisnya? Dakwaan baru terhadap pembunuhan berencana dan peran tersangka dalam perencanaan dan pelaksanaan kejahatan meninggalkan ruang yang sangat kecil untuk terjadi salah tafsir.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius bagi Pemerintah Indonesia tentang seberapa dalam keterlibatan setiap individu dalam keanggotaan Jikalahari dengan para militan.
Didalam surat dakwaan, bagaimanapun juga, menunjukkan bahwa pembunuhan tersebut direncanakan dan setiap individu yang disebutkan oleh LSM-LSM tersebut ternyata perencana pembunuhan. Tentang pembunuhan tersebut, Australia ABC memuat berita yang menggambarkan insiden sebagai bentuk perjuangan masyarakat melawan perusahaan.
Secara kolektif, LSM-LSM dan media pro-LSM dapat dituduh turut berkontribusi pada kematian korban dengan memberi dukungan, tanpa memeriksa latar belakang aktivis yang kini didakwa karena pembunuhan, dan juga secara terbuka mendukung gerakan militant.
LSM-LSM, tanpa diragukan lagi, mendapat keuntungan atas cacatnya perusahaan dan pemerintahan Indonesia. Terlebih lagi, tindakan LSM-LSM yang mengenyampingkan fakta menimbulkan pertanyaan bahwa apakah aksi LSM tersebut berkontribusi terhadap perkembangan situasi yang mengakibatkan pembunuhan sadis yang dilakukan atas nama aktivisme.
---- Sekian ----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H