Mohon tunggu...
Farid Abdullah Lubis
Farid Abdullah Lubis Mohon Tunggu... Lainnya - Islamic Communications and Broadcasting Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta

Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-aji, Sugih Tanpo Bondho ~ Hanya seorang pelajar yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

September yang 'Hitam': Apa yang Membuat Bulan Ini Terasa Berbeda?

18 September 2024   19:47 Diperbarui: 18 September 2024   19:49 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah riuhnya kalender tahun 2024, bulan September menyuguhkan sebuah untaian kisah kelabu yang mengguncang tidak hanya satu negara, tetapi juga menggoyang kestabilan regional. Dalam beberapa dekade terakhir, bulan ini sering kali menjadi latar belakang dari tragedi besar, dan yang terbaru, "September Hitam" kembali menambah daftar panjang kejadian dramatis yang menyisakan bekas mendalam dalam sejarah bangsa Indonesia. Apakah bulan ini benar-benar menjadi saksi peristiwa kelam yang menandai titik balik dalam sejarah politik atau sosial? Atau adakah makna lain di balik kekacauan yang terjadi? Pembahasan ini akan setidaknya bisa memantik dimensi-dimensi kompleks dari lensa yang tajam yang menyebutnya sebagai "September Hitam."

Bulan ini mengingatkan kita pada serangkaian peristiwa tragis di masa lalu yang menyoroti tantangan yang masih kita hadapi dalam penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). "September Hitam" mencakup berbagai peristiwa bersejarah yang mencerminkan pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk. Sepanjang sejarah, bulan September telah menjadi saksi berbagai pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk Tragedi 1965-1966, Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984, Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999, Pembunuhan Munir Said Thalib pada 7 September 2004, Pembunuhan Salim Kancil pada 26 September 2015, dan Reformasi Dikorupsi pada 24 September 2019.

Mengapa bulan September seolah menjadi magnet bagi peristiwa-peristiwa penting dan sering kali tragis? Apakah ada pola yang menghubungkan antara tanggal-tanggal penting dan kekacauan yang mengikuti? "September Hitam" menyoroti kekuatan waktu dalam membentuk sejarah dan bagaimana peristiwa-peristiwa ini membentuk kembali lanskap sosial dan politik. Dalam konteks ini, penting untuk mengurai lapisan-lapisan yang menyelimuti peristiwa-peristiwa tersebut dan memahami penyebab serta akibatnya secara holistik.

Mengkaji "September Hitam" tidak hanya membuka bab sejarah, tetapi juga mencerminkan ketidakstabilan global. Peristiwa ini menggarisbawahi tragedi pelanggaran HAM yang sering diabaikan dan menuntut perhatian pada perjuangan untuk keadilan dan hak asasi manusia di tengah konflik dan penindasan. Sepanjang bulan September, berbagai pelanggaran hak asasi, seperti kekerasan politik, penyiksaan, dan penghilangan paksa, mengingatkan kita akan dampak kebijakan represif dan konflik bersenjata yang melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.

Kita dapat melihat bahwa tindakan keras aparat kepolisian dalam membubarkan demonstrasi pada 22 Agustus 2024 menunjukkan gambaran sebenarnya dari pemerintahan Joko Widodo. Di satu sisi, pemerintah terlihat kehilangan dukungan publik, sementara di sisi lain, pemerintah cepat dalam menekan kritik dan meredam aksi massa. Demonstrasi ini menyebar seperti ledakan bom waktu di berbagai kota, dengan mahasiswa, pelajar, akademisi, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya turun ke jalan untuk mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas perolehan suara bagi partai politik yang ingin mencalonkan kepala daerah. Hal ini menyebabkan penolakan masyarakat terhadap upaya pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum yang berusaha membatalkan konstitusi dan mengabaikan keputusan MK.

Sehemat pengamatan penulis, di Jakarta, aparat kepolisian menunjukkan tindakan yang sangat brutal dan tidak terkendali dalam membubarkan demonstrasi. Mereka menggunakan gas air mata, meriam air, pentungan, tameng, bahkan melempar batu untuk menyerang dan memaksa mundur para pengunjuk rasa. Bahkan, beberapa aparat terlihat di kamera memukul dan menendang peserta demonstrasi yang tidak berdaya. Dampaknya, lebih dari 200 pengunjuk rasa terluka, termasuk anak-anak di bawah umur dan ibu-ibu juga terkena tindakan represif tersebut. Selain itu, polisi juga menangkap ratusan demonstran, beberapa di antaranya kemudian dijadikan tersangka.

Refleksi "September Hitam" juga mengingatkan kita pada pentingnya peran komunitas internasional dalam menanggapi dan mengatasi pelanggaran HAM. Komitmen untuk melindungi hak asasi manusia harus melampaui deklarasi dan resolusi, dan harus tercermin dalam tindakan nyata yang melibatkan investigasi independen, akuntabilitas, dan reparasi bagi korban. Kesadaran global tentang tragedi HAM ini penting untuk menciptakan tekanan internasional yang dapat mendorong pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memperbaiki sistem dan mencegah pelanggaran lebih lanjut.

Di tengah kesadaran global yang semakin meningkat mengenai tragedi HAM, "September Hitam" juga menjadi ajang untuk refleksi kolektif dan aksi konkret. Melalui peringatan ini, kita berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak yang dilanggar, memberikan suara kepada mereka yang tidak terdengar, dan memastikan bahwa pelajaran dari masa lalu tidak diabaikan. Seperti yang di ucapkan oleh Bapak Suci, Paus Fransiskus saat mengunjungi Istana Merdeka dan berpidato didepan Jokowi yang berbunyi,

"Munculnya konflik-konflik kekerasan sebagai akibat atas keinginan untuk memaksakan kepentingan sendiri. Sehingga ketegangan dalam negara timbul karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka," Paus Fransiskus.

Jokowi Layak disebut "Insan Tanpa Kalbu"

Selama sekitar 10 tahun menjabat sebagai Presiden, setidaknya, saya ingin menyebutkan bahwa Joko Widodo Gagal Sebagai Presiden. Hal itu berlandaskan dengan cawe-cawe yang dilakukan oleh bekas Gubernur Jakarta tersebut dalam proses perjalanan Pilpres 2024. Dimana saat itu, ia dengan kloninya memaksakan agar karpet merah terbentang mulus untuk sang anak bungsu, Gibran Rakabuming Raka, Sebagai calon wakil presiden dalam pemilihan presiden 2024, Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto, yang mencalonkan diri untuk keempat kalinya. Proses pencalonan bekas Wali Kota Solo tersebut memicu kontroversi, karena ia meminta pamannya Anwar Usman, yang juga sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi untuk merevisi aturan batas usia calon wakil presiden dari 40 tahun menjadi 36 tahun, yang sesuai dengan usianya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun