Mohon tunggu...
Farid Abdullah
Farid Abdullah Mohon Tunggu... -

Freelance Journalist

Selanjutnya

Tutup

Nature

Apakah Greenpeace Sudah Dijual ke Bisnis?

18 Februari 2014   22:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh Farid Abdullah

Di awal minggu 2014 komersialisasi Greenpeace yang menjadi agen bagi perusahaan-perusahaan menjadi semakin jelas terlihat sementara perusahaan-perusahaan yang menganut green-eco bertarung di perselisihan publik mengenai siapa yang lebih hijau. Pemisahan antara World Wildlife Fund (WWF) dan Greenpeace telah menjadi semacam permainan takhta hijau yang dimainkan dengan mengorbankan lingkungan dan para donor. Kedua pihak membela perusahaan Indonesia Asian Pulp and Paper (APP) yang tahun kemarin baru saja dinobatkan sebagai penghancur hutan terburuk di dunia. Atau di seluruh alam semesta? Saya lupa.

Kampanye perlindungan terhadap lingkungan telah diganti dengan uang perusahaan yang menggiurkan yang dihabiskan untuk wakil dari Greenpeace seperti Robertsbridge Group dan The Forest Trust (TFT), keduanya adalah konsultan terdaftar di Inggris yang terdiri dari dahulunya adalah aktivis lingkungan yang beralih ke kapitalisme. Uang yang dibayarkan oleh APP lebih masuk akal daripada puluhan tahun melakukan demonstrasi yang tidak ada gunanya. Tapi apakah Greenpeace, TFT dan aktivis terdahulu dari Friends of the Earth telah dijual kepada penghancur hutan terburuk di dunia?

Aktivis di Indonesia berpikir demikian. Wiro, seorang aktivis lokal di Sumatra mengatakan, “Greenpeace adalah pengkhianatan yang lain.” Para aktivis lokal yang berada di ujung tanduk korupsi APP dan bertahun-tahun deforestasi telah mengundurkan diri disebabkan fakta bahwa kerakusan perusahaan telah mengkorupsi gerakan Greenpeace. “Semua ini adalah mengenai para orang asing yang datang kesini dan memberikan kami janji-janji kosong tapi pada akhirnya tidak ada yang berubah,” kata salah seorang aktivis perempuan dari kelompok lokal Jikalahari, yang berbasis di Riau di pulau Sumatra. Sentimen-sentimen seperti ini terdapat di dalam laporan Greenomics baru-baru ini. Sebuah LSM yang dekat dengan Kementerian Perhutanan Indonesia membantah bahwa APP dengan teman-teman barunya tidak berubah dan tidak mungkin berubah karena permintaan pasar tetap kuat.

Perang hijau yang menargetkan perusahaan-perusahaan Asia telah berlangsung beberapa lama. Indonesia dan sekarang China, perusahaan seperti Li Ning telah menjadi target agresif oleh aktivis militan di Asia dan Federasi Rusia. Pemerintah Rusia tidak mau berurusan dengan hal ini dan dengan cepat mengakhiri aksi semangat para pejuang hijau yang tidak begitu heroik tersebut dengan menangkap 30 aktivis Greenpeace dan memberikan mereka beberapa waktu di Kutub Utara. Rusia menuduh para aktivis dengan pembajakan dan hooliganisme (versi Rusia dari ketidakpatuhan hukum) dan menyita kapal kampanye mereka, Arctic Sunrise. Respon yang kuat ini telah memperkecil permainan hijau yang kekanak-kanakan ini. Tapi sementara Rusia tidak mau berurusan dengan omong kosong seperti itu, para pejabat di Asia tetap lebih bersifat memaafkan. Tapi para pengamat mengatakan hal ini akan berubah. Setelah pelepasan aktivis “Arctic 30” dalam sebuah amnesti pra-Olimpiade sebelum Natal, para aktivis Greenpeace menegaskan secara terbuka bahwa Olimpiade adalah alasan mengapa mereka dilepaskan.

Kalau bukan karena Olimpiade, pemerintah Rusia telah menahan para aktivis tersebut di dok kapal dan memberikan mereka hukuman enam tahun untuk memikirkan tentang ketidakbijaksanaan mereka untuk mengganggu masyarakat yang terkenal pemarah dengan omong kosong mereka tentang prediksi omong kosong hari kiamat. Tapi meskipun dengan kesembronoan tersebut, merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa Greenpeace telah dengan sengaja melanggar hukum Federasi Rusia, dan Rusia tidak menganggap enteng hal tersebut. Para pejabat Rusia telah menunjukkan bahwa kapal Greenpeace telah berulang kali diberikan peringatan untuk mematuhi hukum Rusia, yang tentu saja diabaikan oleh Greenpeace.

Ada pemahaman yang kurang dari perusahaan dan lebih sedikit mengenai pemahaman kebijakan strategis tentang bagaimana kelompok-kelompok seperti Greenpeace dan gerombolan eco-corporations menyediakan lahan yang subur bagi kelompok-kelompok seperti itu yang tidak terlawan di Asia. Direktur Politik Greenpeace mengatakan dalam sebuah konferensi di Kopenhagen tahun 2013 bahwa negara-negara seperti Perancis, Amerika Serikat dan Rusia lebih merupakan sebagai ancaman bagi Greenpeace karena negara-negara ini melihat kelompok ini sebagai tindakan subversif yang mengancam keamanan nasional. Pernyatan ini dibalas oleh aktivis Greenpeace di Philipina yang menegaskan pandangannya dan berkata,”Apa yang Greenpeace lakukan di Indonesia tidak akan diijinkan dan kita tidak bisa lolos di tempat-tempat seperti Thailand atau China.” Dokumen Greenpeace menunjukkan ketika mendirikan kantor regional di Thailand menegaskan posisi ini dengan pemerintah Thailand, yang mendukung Greenpeace sepanjang mereka melakukan demonstrasi di negara-negara ASEAN lainnya dan tidak di Kerajaan.

Pemerintah seperti Indonesia atau Philipina kurang pemahaman strategis mengenai orientasi ideologis Greenpeace, perusahaan yang pro lingkungan lainnya, dan radikal-radikal baru yang lahir di Asia, semua mempunyai maksud terhadap kebijakan publik, ekonomi, atau bahkan stabilitas nasional. Tren militan seharusnya menjadi perhatian. Dijadikan satu paket yang pintar sehingga orang-orang menjadi percaya, dan mari kita jujur siapa yang tidak percaya kepada anak macan yang menyenangkan untuk dipeluk, pesan awal yang tampak bagi kebutuhan emosional dari rasa bersalah konsumen dari masyarakat Jerman? Ini masyarakat Jerman yang sama yang membayar 200 juta euro ke dalam kas perusahaan-perusahaan hijau seperti Greenpeace, WWF dan lain-lain. Kampanye hijau di Asia telah memberikan dampak pembangunan ekonomi Indonesia.

Kampanye merupakan alat untuk donasi bagi Greenpeace. Meskipun ada sanggahan bahwa Greenpeace tidak menerima uang dari perusahaan-perusahaan (Direktur Politik mengatakan bahwa mereka hanya menerima donasi pribadi) hal ini menyebabkan pintu terbuka bagi individu yang mewakili perusahaan untuk memberikan sumbangan kepada Greenpeace, dimana hal ini terkenal kurang transparan ketika berhubungan dengan donasi global dan manajemen keuangan. Aktivitas militan dianggap Greenpeace bukan kejahatan. Ini benar kecuali tidak ada yang dilukai atau tindakan kriminal dilakukan; bagaimanapun juga, hal ini telah dilakukan berulang kali. Di Turki, Brasil dan Indonesia tindakan oleh kelompok masyarakat sipil termasuk Greenpeace telah berakibat hilangnya nyawa. Aktivis Greenpeace telah muncul terus menerus di batas luar kekacauan sipil.

Contohnya Greenpeace Turki bekerja sama untuk membangun sekelompok aktivis global baru. Perdana Mentri Turki menyatakan peran aktivis asing adalah menyalahkan kerusuhan di Turki. Tapi siapa yang percaya dengan politisi? Melihat bukti nyata, Perdana Mentri Turki mungkin memiliki poin disini. Kelompok-kelompok seperti Greenpeace, 350.org, Friends of the Earth, the Black Bloc atau kelompok yang lebih radikal lainnya mengklaim mereka adalah gerakan global. Pengamat kebijakan Jerman menyatakan bahwa ini hanyalah masalah waktu sampai aktivis Greenpeace pertama akan dikenakan tuduhan dengan pelanggaran hukum berat yang dapat dihukum mati.

Seperti Rusia, Pengadilan Tinggi Selandia Baru telah mengambil pandangan konservatif mengenai Greenpeace dengan menyatakan Charity Act telah dilanggar karena kelompok ini melakukan pelanggaran batas kriminal yang berulang dan tuduhan lainnya. Seperti yang terjadi sekarang, Greenpeace dituntut di Kanada, India dan Austria. Kontak industri yang diwawancarai menyatakan bahwa paling tidak ada dua tuntutan hukum yang sedang disiapkan oleh perusahaan-perusahaan melawan Greenpeace sebagaimana juga badan legislatif lainnya sedang menjalani investigasi kelompok-kelompok hijau.

Seorang pejabat ASEAN yang diwawancarai mengatakan bahwa undang-undang nasional yang berat di tempat-tempat seperti Indonesia atau China adalah sebagai hasil langsung dari tindakan langsung dan dari kampanye bertahun-tahun yang dilakukan melawan perusahaan-perusahaan nasional. “Kecenderungan ekonomi untuk turun secara global tidak berubah karena APP telah berubah hijau. Negara-negara ASEAN membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang solid dan laporan Bank Dunia menunjukkan dampak negatif dari kelompok pro lingkungan (eco-groups) terhadap industri nasional,” ujarnya.

Kritik terhadap Presiden Indonesia telah menghancurkan kebijakan lingkungan yang tidak efektif dari administrasi pemerintahan Yudhoyono. Indonesia telah memberikan Greenpeace ruang operasi strategis untuk menjadi kalah di dalam keuntungan kompetitif globalnya sendiri. Menurut kajian Bank Dunia, Indonesia telah kalah dalam keuntungan kompetitif dibandingkan Malaysia di pasar minyak kelapa sawit, memberikan Malaysia, Brasil dan kekuatan pasar baru yang sedang bangkit di Afrika keuntungan kompetitif daripada Indonesia. Sebuah kajian kebijakan Jerman yang berfokus pada kampanye pesan politik dari kelompok-kelompok lingkungan mengidentifikasi bahwa di 2013 kelompok-kelompok hijau mencipatakan lebih dari 140.000 laporan berita media yang menargetkan perusahaan-perusahaan Indonesia. Angka ini berdasarkan dari proyek riset yang menunjukkan tema kampanye negatif merupakan pesan yang dominan oleh Greenpeace dan organisasi yang merupakan perwakilan dari kelompok-kelompok hijau.

Tetapi kampanye eco-corporations telah mencapai puncaknya di Uni Eropa. Pada akhir Januari tahun ini, Brussel mengambil langkah mundur dari agenda lingkungannya yang ambisius sejak kenyataan politik bahwa Uni Eropa membutuhkan pertumbuhan ekonomi dan kompetisi industri telah ada. Ini adalah pelajaran yang tidak boleh hilang di Jakarta. Politik populis tidak bisa menggantikan kenyataan pasar.

Uni Eropa secara umum, standar lingkungan yang dimasukkan secara paksa ke masyarakat umum telah mengacaukan kompetisi Uni Eropa dengan menghasilkan energi yang terlalu mahal. Di Jerman dan khususnya di Inggris, politisi sekarang dihadapkan pada kenyataan yang menenangkan. Kenyataan yang sama terjadi secara nyata di Asia. Golden Agri Resources (GAR), bagian dari Kerajaan Asian Pulp and Paper telah kehilangan nilai saham kurang lebih 6% sejak pengumuman eco-corporation (perusahaan pro lingkungan) tahun lalu. Saham di awal 2014 diperdagangkan pada harga yang rendah.

Perusahaan Indonesia lain yang memenuhi persyaratan Forest Stewardship Council (FSC) memperdagangkan sahamnya di Frankfurt Stock Exchange dengan nilai perdagangan negatif 76 persen. Menjadi perusahaan yang go green adalah proses normal; tetapi melakukannya dengan cara Greenpeace adalah ancaman terhadap model ekonomi. Meskipun Greenpeace dengan malu-malu membantah bahwa mereka tidak menghancurkan perusahaan, kenyataan dan ideologi hijau yang beraliran keras dalam pergerakan anti budaya anti kapitalis dan kelompok Marxist yang kuat menggambarkan hal yang berbeda. Kepemimpinan Greenpeace merayakan kematian aktivis yang setelah menyelesaikan pelatihan para militer oleh kekuatan komunis di Angola, sedang dalam perjalanan kembali ke Afrika Selatan dibunuh oleh pasukan keamanan. Slogan terbaru pada pertemuan COP kedengaran seperri revolusi Fidel Castro daripada proses perdamaian. Dalam beberapa tahun terakhir keyakinan lama bahwa “kami ditakdirkan bersama” telah memicu peningkatan yang tajam pada tindakan militan.

Strategi seperti pencabutan kampanye yang membawa ekonomi Afrika Selatan menurun diaplikasikan secara luas sebagai bagian kerjasama antara 350.org dan Greenpeace. Hal ini benar pada saat demonstrasi di Turki yang pada akhirnya menyebabkan kematian aktivis dan petugas polisi. Jadi, aktivitas memang dapat membunuh. Minimum menghasilkan pekerjaan bagi orang miskin dan bukan orang kaya. Bertahun-tahun kampanye dan strategi pencabutan Greenpeace yang pintar bukan tanpa kontroversi. Ahli ekonomi berpendapat bahwa Afrika Selatan sampai sekarang belum pulih, ataupun telah membangun dunia yang lebih baik. Kritik termasuk John Major, Murray Rothbard dan Ronald Reagan yang mendukung “perjanjian konstruktif” dimana kebijakan ini diikuti oleh WWF. Kebijakan publik ini kontras dengan diplomasi senjata-kapal yang didukung Greenpeace.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun