Mohon tunggu...
Farida Azzahra
Farida Azzahra Mohon Tunggu... Konsultan - Law Student

A learner and hard worker person. Have an interest in law and political issues.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Produk Hukum Penanganan Corona, Sudah Idealkah?

13 April 2020   19:35 Diperbarui: 22 April 2020   20:34 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Industri.co.id

Sudah berjalan dua pekan sejak Presiden akhirnya mengambil langkah hukum dengan menerbitkan tiga produk hukum terkait penanganan Corona.

Penyebaran  Virus Corona (COVID-19) yang semakin masif di Indonesia membuat pemerintah akhirnya mengambil langkah hukum untuk menindaklanjuti persoalan tersebut. Pada Senin (31/3/2020) lalu, Presiden menerbitkan tiga produk hukum utama sebagai bentuk keseriusan dalam penanganan Virus Corona. Adapun ketiga produk hukum tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID 19), serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan COVID 19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Sebelumnya Pemerintah Pusat hanya memberikan himbauan agar masyarakat melakukan physical distancing serta melakukan rapid test di beberapa wilayah. Akan tetapi, langkah tersebut rupanya tidak cukup efektif dalam menekan angka penyebaran Virus Corona, hal ini terbukti dengan adanya penambahan kasus yang mencapai ratusan setiap harinya serta angka kematian yang  terus meningkat.

Adapun masyarakat kemudian mendesak Pemerintah Pusat untuk melakukan karantina wilayah seperti yang telah diterapkan oleh beberapa daerah seperti Tolitoli, Trenggalek, Tasikmalaya, Yogyakarta, dan lain-lain. Akan tetapi, kebijakan yang dipilih Pemerintah Pusat pada akhirnya ialah penerapan PSBB dengan Kekarantinaan Kesehatan.

Kebijakan PSBB bahwasanya merupakan bentuk respon dari adanya kedaruratan kesehatan yang terjadi di masyarakat. Kehadiran PP mengenai PSBB diharapkan dapat menjadi aturan turunan yang mengatur hal-hal teknis dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Sebagaimana amanat Pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa  pelaksanaan dan kriteria mengenai karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan PSBB diatur lebih lanjut melalui PP. Artinya, pelaksanaan PSBB baru dapat diterapkan apabila Presiden sudah menetapkan PP terlebih dahulu.

Selain itu, UU Kekarantinaan Kesehatan juga mengamanatkan agar dibentuknya PP yang mengatur mengenai sanksi administratif, penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat, serta penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat.Akan tetapi, dalam hal ini Presiden hanya mengeluarkan satu PP yang mengatur mengenai pelaksanaan PSBB. Presiden sepertinya ingin merangkum semua amanat undang-undang hanya dalam satu peraturan. Sayangnya, PP mengenai PSBB yang dibentuk Presiden tersebut hanya berisi pengaturan yang bersfat general dengan ruang lingkup yang sangat sempit dan terbatas.

PP yang terdiri dari tujuh pasal tersebut pun isinya tak lain hanya merupakan pengulangan dari aturan normatif yang telah diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Alih-alih mengatur mekanisme PSBB secara detail dan spesifik, PP ini justru hanya menduplikat aturan-aturan yang sudah tertuang dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Pembentukan PP ini juga terkesan terburu-buru dan hanya sekadar formalitas belaka. Salah satu contohnya dapat kita lihat pada Pasal 4 Ayat (1) yang mengatur mengenai ruang lingkup PSBB. Pengaturan ruang lingkup tersebut bahwasanya sudah diatur dalam Pasal 59 Ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan, dimana dalam Pasal tersebut diatur bahwa: "Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum."

Seharusnya ketentuan dalam pasal tersebut bisa dijabarkan lebih lanjut dalam PP yang ditetapkan Presiden. Karena jika hanya berisikan pengaturan demikian, maka hal-hal serupa juga telah diterapkan sebelumnya. Selama ini sekolah, universitas, dan beberapa tempat kerja sudah membuat himbauan untuk belajar dan bekerja dari rumah (Work From Home). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun