Aku terbangun dari tidurku yang rasanya hanya sekejap dan tanpa mimpi. Sudah pagi lagi. Waktunya aku kembali bergegas menyambut kenyataan betapa kerasnya hidup menjadi dewasa.Â
Ahh... bahkan Yeppo, si kucing blasteran anggora dan persia-ku yang warna rambutnya nano-nano itu sudah mengeong-ngeong kelaparan minta makan. Baiklah, kenyataan sudah benar-benar kembali dimulai. Aku bergegas bangun untuk mengambilkan si Yeppo secawan makanan kucing dan kuletakkan di lantai kamarku. Dia memakannya dengan lahap.Â
Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku agar kembali segar dan bersemangat menghadapi apapun yang akan terjadi hari ini. Selesai urusan penyegaran, aku mengenakan setelan warna abu-abu favoritku yang selalu menjadi pakaian kebesaranku karena dari sekian banyaknya baju yang kupunya, mungkin hanya setelan ini yang kupakai lebih dari dua kali dalam seminggu.Â
Biarlah, aku bodoamat saja soal penampilan. Kenapa juga harus repot-repot menyesuaikan style fashion tiap hari, 'kan aku bukan selebritis. Yang penting nyaman. Begitulah prinsipku. Ya, tentu saja, prinsip seorang pegawai honorer sepertiku adalah meminimalisir pengeluaran sebisa mungkin dan memanfaatkan yang ada semaksimal mungkin. Soal berpakaian aku tak begitu mengikuti trend karena bagiku itu akan sangat melelahkan.
Kuseduh secangkir kopi hitam tanpa gula. Aromanya kuat dan nikmat. Kusandingkan cangkirnya dengan beberapa sisir roti yang kubeli dari fastmart tadi malam. Sambil membuka surel dan membaca-baca berita terbaru yang seliweran di timeline media sosial, aku menyeruput sedikit demi sedikit kopiku sebelum dingin. Tiap hari, mungkin tiap menit, ada saja yang terjadi belakangan ini.Â
Mengapa manusia zaman sekarang banyak sekali berbuat ulah, banyak yang kebelet viral dan melakukan hal-hal tak masuk akal. Aku rasa aku juga belum merdeka secara finansial, tapi untungnya aku nggak gitu-gitu amat. Karena asyik melihat dan menonton tingkah orang-orang yang seliweran di timeline, tidak terasa kopiku tinggal tersisa endapan.Â
Baiklah, sepertinya sudah waktunya berangkat ke "medan perang". Kuambil tas ransel warna cokelat yang sudah setia menemaniku berkeliling sejak beberapa tahun lalu. Aku mengambil helm, lalu memanaskan mesin motorku dan beberapa menit kemudian aku siap membawanya "bertempur".
Masih pagi sekali, sekitar pukul 06.00 lebih sedikit, ketika aku mulai mengendarai motor matic-ku keluar melalui gang sempit area rumahku. Aku mengendarainya pelan, selain karena hawanya masih sangat dingin, pemandangan jalanan yang sepi dan asri menambah kesegaran pada dalam diriku.Â
Daun-daun pada pepohonan yang berwarna hijau terlihat sangat mendamaikan. Belum banyak asap polusi yang menyebar pada waktu sepagi ini. Semuanya terlihat damai dan asri sebelum tiba di perempatan jalan menuju kota, 20 menit setelahnya. Seketika tiap sudutnya mulai kontras dengan pemandangan orang-orang yang sedang demam lari pagi di sepanjang jalan. Ada juga komunitas gowes yang mengayuh sepeda beriring-iringan disepanjang jalan.Â
Di sudut lain perempatan ketika lampu merah menyala, ada bapak-bapak paruh baya mengenakan topi hitam yang warnanya sudah memudar sedang duduk diatas becak tuanya sambil menghitung lembaran-lembaran uang yang dia dapatkan pagi ini. Mungkin dari pasar pagi. Perhatianku teralih sejenak.Â
Di sudut lain yang masih terlihat dari tempatku berhenti karena lampu merah yang masih menyala, seorang bapak-bapak lain berusia sekitar 50-an tengah menjajakan kemoceng buatannya kepada para pengendara mobil dan motor yang tengah dihadang lampu merah. Dengan sekuat tenaga dia berjalan menawarkan dagangannya mengetuk dari jendela mobil satu ke mobil lainnya. Huufff... bahkan sepagi ini pun sudah banyak yang menjemput rezeki.
Tak lama setelahnya, lampu hijau menyala. Aku menarik gas motorku perlahan sambil berlalu melanjutkan perjalanan. Tapi pemandangan yang baru saja kusaksikan mengusik pikiranku dan terus berbisik di dalamnya. Berisik.Â
Dalam hatiku berkata, "bukan kamu satu-satunya manusia yang sedang berusaha, bukan bebanmu yang paling berat di dunia, semua yang kamu keluhkan tidak ada apa-apanya dibanding mereka yang baru saja kau temui." Aku merasa tertampar oleh gumam hatiku sendiri. Bukankah selama ini aku terlalu sering mengeluh dan bersikap seolah akulah yang memikul beban paling berat di dunia ini. Tidak. Ternyata selama ini aku salah.Â
Ada dua manusia, dua bapak-bapak yang baru saja kulihat di tepi jalan tadi adalah manusia-manusia hebat. Bisa jadi beban mereka lebih berat. Menafkahi keluarga, menyekolahkan anak-anak mereka, dan tentu saja untuk dirinya sendiri pula. Sedangkan aku? Menikah saja belum, ngasih orangtua juga jarang, sekali ngasih juga tidak seberapa. Tapi kenapa aku selalu merasa kurang?
Perlahan aku mulai meraba diriku sendiri. Menggali kembali apa saja yang sudah kulalui, apa saja yang sudah kulakukan, dan apa saja yang sudah kuberikan untuk orang lain. Dalam perjalanan menuju medan perang pagi ini aku merasa ingin menghitung seberapa banyak manfaat yang sudah kuberikan kepada sesama. Sebentar.Â
Kepada orangtua yang membesarkanku dari kecil pun rasa-rasanya aku lebih sering mengabaikan, menomor duakan, dan selalu mengutamakan diriku sendiri. Kendati demikian, aku tak pernah merasa cukup apalagi puas. Sebenarnya apa yang aku cari? Sebenarnya apa yang aku mau? Entahlah.Â
Satu yang kutahu pasti, aku tak boleh terus begini. Perjalananku menuju medan perang pagi ini benar-benar membuatku berpikir. Â Aku terus menggali dan meresapi. Ada banyak hal yang tengah meluruhkan sebagian egoku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H