Mohon tunggu...
Farida Ayu Hapsari
Farida Ayu Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Aida

a melancholy, not a melodrama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anggie

9 Januari 2021   08:25 Diperbarui: 9 Januari 2021   12:50 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anggie. Satu nama yang pertama kali kuingat ketika gerimis turun perlahan mengundang derasnya hujan. Satu nama yang pertama kali tergambar ketika langit mulai menjingga memanggil senja. Satu nama yang masih singgah dalam deretan kenangan yang mungkin takkan bisa terhapuskan. Singkat, hangat, tapi tak pernah jelas. Begitulah kira-kira gambaran tentang sosokmu dari sudut pandangku.

Hai, Anggie...

Kutuliskan cerita tentangmu yang dulu pernah singgah, meski hanya sejenak. Tentangmu yang meninggalkan ingatan pedihnya kehilangan. Masih tentang dirimu yang pergi ditengah hujan bulan Januari sepuluh tahun yang lalu. Bukan aku masih merindu atau mengharapmu kembali disisiku. Tidak. Aku sudah membiarkan harapanku tentangmu berlalu bersama waktu.

Memang tidak sebanyak yang lain, kamu tidak perlu mengusahakan banyak hal untuk menarik perhatianku. Kamu istimewa dengan caramu sendiri, dengan sikapmu sendiri, dan dengan kepergianmu yang menyisakan risau dalam hatiku. Bukan hanya sehari, sebulan, atau setahun. Sepuluh tahun sudah masa itu terlalui, tapi namanu masih ada disini, dalam tumpukan kenangan bersama banyaknya memori yang terkadang hadir saat sepi.

Beda dahulu, beda hari ini. Dulu, ketika merindukanmu yang jauh dari tanah tempatku berpijak, dari langit senja yang kilaunya menyibak. Ribuan kata terukir elok diatas lembaran-lembaran kertas putih. Goresan kata demi kata terlukis dengan sebuah pena tipis. Didalamnya berisi untaian rindu, gelisah, dan harapan yang tak berujung temu.

Kini, bagai harumnya parfum yang menguap tanpa tutup diatas botolnya. Rindu yang dulu menggebu telah hilang, pudar, melayang entah kemana seiring berjalannya waktu. Mengering tak sesubur dulu ketika tiap hari kububuhkan pupuk rindu. Waktu berlalu, banyak hati datang pergi silih berganti. Perlahan, namamu menepi dari sentral hati. Tak lagi kurindu, tak lagi kuharap temu. Semua berlalu.

Satu yang kutahu pasti, sebanyak apapun rindu yang kau simpan rapi, jika tak kau jaga dengan baik pun akan memudar juga. Habis perlahan, hilang pelan-pelan. Tidak ada yang abadi jika tak kau jaga dengan hati. Tidak ada yang menetap jika tak kau genggam dengan erat.

Simpan parfummu ditempat yang tepat, tutuplah dengan rapat, sebelum harumnya perlahan hilang menguap. Tak tersisa, lalu kembali hambar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun