Â
Tubuhnya bergetar dengan mata merah bengkak dan sebatang jarum dalam genggaman. Perbincangan senja itu masih jelas dalam ingatannya, "Nai, aku minta maaf. Bukan aku tak mau menjalin hubungan denganmu. Tapi, aku mencintai orang lain!" Sontak ucapan Marlon membuat seluruh urat sarafnya lumpuh. Naika ambruk di hadapan Marlon tanpa kata-kata.
"Lalu, apa yang selama ini kau berikan padaku?" Suaranya tersenggal di antara rintik yang jatuh dari ujung bulu mata.
"Aku ingin melihatnya cemburu, Nai! Itu kenapa aku selalu berusaha terlihat mesra denganmu di hadapannya," jawab Marlon, membuat gadis berlesung pipi itu semakin tenggelam dalam deburan rasa sakit dalam hati.
Naika kembali memerhati lubang jarum, sehelai benang tak juga mampu ia masukan. Mata dan hatinya gelap, segelap saat ia menerima tamparan kekecewaan dari orang yang ia sayang. "Masuklah ... masuklah!" rintihnya, kemudian melempar batang jarum ke atas kain putih. Kain pesanan seorang gadis, yang memintanya untuk membuat kebaya pengantin.
Naika berlalu dari ruang khusus di rumahnya, ruang di mana ia mengerjakan semua kerjaan sebagai seorang penjahit. Ia menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Bantal menjadi sasaran menumpahkan segala kepedihan, 'Ibuuu ....' rintih batinnya.
"Kau tega, Lon ... tega! Kau tega memanfaatkan aku, apa salahku, Lon?" maki Naika pada sebuah pigura berisikan gambar Marlon. Hatinya semakin pedih ketika dia tahu kalau orang yang dicintai Marlon tak lain adalah sahabatnya sendiri.
***
"Siapa dia, Lon?" tanya Naika. Ia masih menunduk, tak berani menatap wajah lelaki di sampingnya.
Suasana hening. Pertanyaan Naika tak membuat Marlon segera memberikan jawaban. Di ufuk sana, matahari mulai tenggelam. Rona jingga yang tersisa mulai memudar. Angin sepoi menyibak anak-anak rambut Naika yang menutup wajah ayunya.
"Siapa, Lon? Katakan!" tanyanya lagi.