Mohon tunggu...
farida
farida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum - Universitas Merdeka Pasuruan

memiliki hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Nikah Siri dalam Perspektif Hukum Islam

20 Desember 2024   10:42 Diperbarui: 20 Desember 2024   12:51 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernikahan adalah ikatan suci yang memiliki makna religius dan sosial yang sangat penting. Dalam Islam, pernikahan diatur secara rinci melalui hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Hadis. Namun, praktik pernikahan yang terjadi di masyarakat seringkali dipengaruhi oleh berbagai tradisi dan kebiasaan yang telah berlangsung lama, salah satunya adalah nikah siri. Secara etimologis, kata "siri" berasal dari bahasa Arab yang berarti "rahasia." Dalam konteks pernikahan, istilah ini merujuk pada praktik pernikahan yang dilakukan secara sah menurut agama, tetapi tidak dicatatkan secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA). Di Indonesia, fenomena nikah siri bukanlah hal baru dan kerap kali menjadi perbincangan baik dalam ranah sosial maupun hukum. Nikah siri, dalam hukum Islam, dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Dasar ini merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW: 

"Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil" (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Sahnya nikah siri, meski tanpa pencatatan, tidak terlepas dari ketentuan bahwa pernikahan tersebut dilakukan secara benar sesuai dengan aturan agama. Jika semua hal tersebut terpenuhi, maka pernikahan dianggap sah secara agama. 

Namun, berbeda dengan hukum Islam, hukum positif di Indonesia mewajibkan adanya pencatatan pernikahan sebagai bentuk pengesahan yang diakui oleh negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Artinya, pernikahan yang tidak tercatat tidak memiliki kekuatan hukum dalam konteks perundang-undangan Indonesia. 

Di masyarakat, nikah siri sering menjadi pilihan karena berbagai alasan, diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa pihak memilih menikah secara siri karena ingin menghindari prosedur administrasi yang dianggap rumit atau menghindari biaya pernikahan yang mahal. Selain itu, tidak jarang praktik nikah siri dipilih oleh pasangan yang ingin merahasiakan pernikahannya dari pihak keluarga atau masyarakat. Alasan lainnya adalah adanya keyakinan bahwa pencatatan pernikahan bukanlah bagian dari syarat sah pernikahan dalam Islam, sehingga tidak menjadi prioritas bagi beberapa pasangan. Meski demikian, ketidaktercatatan pernikahan secara resmi menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Pertama, pernikahan yang tidak dicatatkan akan mengakibatkan lemahnya perlindungan hukum bagi pasangan, terutama bagi pihak istri yang dalam kasus perceraian sering kali tidak dapat menuntut hak-haknya seperti nafkah atau hak waris. Kedua, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri rentan menghadapi masalah terkait status hukum, akta kelahiran, dan akses terhadap berbagai hak sipil, seperti hak pendidikan dan kesehatan. Ketiga, nikah siri juga sering disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghindari tanggung jawab, misalnya dalam kasus poligami yang tidak tercatat. 

Dalam perspektif hukum Islam, nikah siri masih menimbulkan perdebatan. Sebagian ulama memandang bahwa praktik nikah siri sah selama rukun dan syarat pernikahan terpenuhi. Namun, ulama kontemporer memandang bahwa pencatatan pernikahan dapat dimasukkan dalam konteks Maqashid Syariah atau tujuan syariah, yaitu untuk menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Pencatatan dianggap sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak pasangan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan. Misalnya, dalam kasus perceraian, pencatatan memberikan kepastian hukum terkait hak nafkah bagi istri dan anak. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah juga menegaskan pentingnya kebijakan negara yang bertujuan menjaga keadilan sosial, termasuk pencatatan pernikahan. Beberapa ulama juga menekankan pentingnya menjaga maslahah (kemaslahatan umum), sehingga pencatatan dapat dianggap sebagai kebutuhan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, meski nikah siri sah secara agama, pencatatan tetap penting untuk memastikan perlindungan hukum dan menghindari kemudaratan dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun