[caption id="attachment_316375" align="alignnone" width="360" caption="gambar dari detik.com"][/caption]
[caption id="attachment_316377" align="alignnone" width="360" caption="gambar dari detik.com"]
Saat ini hampir semua orang sibuk melakukan kampanye untuk pemilihan calon anggota legislatif yang akan menduduki singgasana di kantor DPR atau DPRD diseluruh wilayah Indonesia. Segala cara dilakukan untuk memperoleh suara terbanyak agar menang dan dapat menduduki tahta masing-masing di kantor yang katanya wakil rakyat tersebut (sampai hari ini saya belum pernah mendapatkan manfaat dari adanya anggota DPR atau DPRD tersebut, meskipun tiap 5 tahun sekali saya mencoblos). Bukan hanya segala cara, namun segala cara juga dilakukan untuk mendapatkan sejumlah uang untuk modal berkampanye yang jumlahnya tidak sedikit, ratusan juta hingga milyaran rupiah demi mendapatkan yang namanya tahta DPR RI atau DPRD, tidak perduli uang itu berasal dari mana, mau ngutang, mau maling ya tidak perduli, meskipun nanti akhirnya kalah dalam pemilihan dan meninggalkan beban hutang yang luar biasa, yang penting adalah bagaimana dapat uang untuk kampanye. Dan kalau sudah begitu menjadi gila atau pura-pura gila alternatif pilihan, sebab hutang tidak mungkin tertagih kepada orang yang tidak waras lagi. Atau ada yang benar-benar menjadi gila karena selama berkampanye telah menjual banyak harta bendanya. Sehingga pada waktu kalah, si caleg menyesal karena harus jatuh miskin.
Terlepas dari itu semua, ya biarkanlah mereka tetap berkecimpung pada pilihan hidupnya ingin menjadi caleg. Disini saya mau membawa para kompasianer untuk menengok ke Medan Sumatera Utara. Disana ada seorang anak perempuan yang terpaksa harus putus sekolah demi merawat ayahnya yang sedang sakit. Aisyah namanya. Sebelum sakit ayahnya merupakan supir mobil box dan memiliki sebuah rumah kecil dan Aisyah sempat bersekolah sampai kelas satu di SD Inpres Jalan Halat Medan. Karena penyakit komplikasi paru yang diderita ayahnya rumah akhirnya terjual dan Aisyah terpaksa putus sekolah. Ibu Aisyah saya tidak tahu menahu ceritanya. Bocah 8 tahun itu dengan telaten mengurusi ayahnya yang sedang sakit. Saat ini ayah Aisyah hanya bisa terbaring lemah tak berdaya, hampir seluruh anggota badannya tak berfungsi baik lagi.
Saat ini Aisyah dan ayahnya tidak memiliki tempat tinggal, hanya sebuah becak barang dayung yang Aisyah dan ayahnya punya, disitulah Aisyah dan ayahnya hidup sehari-hari. Jika malam hari mereka memarkirkan becaknya di depan rumah warga paling tidak untuk berteduh dari hujan. Dan jika telah pagi Aisyah dan ayahnya mangkal di depan Mesjid Raya Medan, dan jika keadaan mesjid raya sedang sepi, Aisyah masuk ke mesjid hanya untuk sekedar mandi dan mencuci pakaian. Begitu setiap harinya. Aisyah yang masih polos dan masih terlalu kecil sudah harus hidup di jalanan bersama ayahnya yang sudah tidak berdaya. Kemungkinan buruk bisa saja terjadi pada bocah kecil ini, mengingat jalanan di kota besar seperti Medan sangat buas untuk anak seumurnya. Namun Aisyah anak yang tangguh.
"Kami Bukan Pengemis" itu kata Aisyah. Pada waktu ketemu Aisyah beberapa hari yang lalu di depan mesjid raya Medan, saya memberikan beberapa uang kepadanya, dan Aisyah berkata "Bu, kami bukan pengemis walau orang-orang di kelurahan membenci kami dan selalu mengusir kami dan menganggap kami pengemis tapi kami bukan pengemis" sembari menolak uang yang saya berikan. Saya berkata, saya tidak menganggap Aisyah dan ayah pengemis, saya hanya membantu sedikit untuk Aisyah, untuk bisa beli buku walaupun buku bekas tapi Aisyah masih bisa belajar meski tidak sekolah lagi, sisanya Aisyah bisa beli obat untuk ayah. Aisyah tetap menolak. Saya bilang kepada Aisyah, jangan merasa rendah hati dengan pemberian saya, saya hanya ingin membantu Aisyah, mohon diterima. Tidak terasa air mata saya jatuh karena saya melihat betul anak yang tangguh itu dalam menjaga ayahnya dan menjaga kehormatan mereka. Akhirnya Aisyah menerima pemberian saya.
Ada badan sosial yang perduli dengan nasib Aisyah dan ayahnya, salah satu yang di prakarsai oleh salah seorang eksekutif pengusaha muda kota Medan, dan mereka menerima sumbangan para donator untuk Aisyah dan ayahnya, namun saya memilih untuk memberikan langsung kepada Aisyah, karena bagi saya itu suatu kepuasan batin. Meski saya merasa sangat teriris dan sangat prihatin. Alhamdulillah Pemko Medan melalui Bapak Zulmi Edlin telah mengatakan bahwa Aisyah akan kembali ke sekolah dan dibiayai sepenuhnya oleh Pemko Medan hingga menyelesaikan pendidikannya. Dan ayahnya akan dibantu biaya perobatan untuk penyakit yang di derita ayahnya. Dan semoga pak Zulmi Edlin juga akan memberikan rumah gratis untuk Aisyah dan ayahnya agar tidak hidup di jalanan lagi. Semoga semua yang dikatakan bapak Plt Walikota Medan tersebut segera terealisasi, Amin...
Saya hanya menghimbau kepada mungkin bagi anda calon-calon legislatif, berilah walau cuma sedikit kepada Aisyah, budget kampanye yang kalian siapkan. Aisyah dan masih banyak lagi anak-anak terlantar yang masih membutuhkan uluran tangan kita. Jika para kompasianer ingin membantu sebagai donatur ini nomor telepon bapak Cahyo Purnomo yang mengkoordiner Komite Donatur yang perduli terhadap nasib Aisyah dan ayahnya  0811638383. Jika ada yang ingin membantu Aisyah, para kompasianer dapat menghubungi nomor tersebut untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana cara memberi bantuan.
Semoga ini bermanfaat bagi kita semua, dan semoga Aisyah bisa kembali mengenyam pendidikan, dan ayahnya dapat segera sembuh, Amin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H