Jika artikel saya sebelumnya yang membahas tentang pernikahan Jonas Rivanno dan Asmirandah, yang kemudian sempat bermasalah karena pengingkaran soal mualaf, dan sempat membuat runyam hubungan antara dua keluarga, kali ini saya akan membahas pernikahan beda dari sisi yang lebih serius, yaitu secara hukum, baik hukum agama maupun undang-undang.
Cukup banyak artikel di Kompasiana yang membahas pernikahan beda agama, tapi sebagian besar mendasarkan pada pandangan Islam, atau mencerminkan kegelisahannya pada hukum Islam soal pernikahan beda agama. Kali saya mencoba untuk menelaah hukum pernikahan agama dari berbagai agama di Indonesia, dari berbagai sumber yang ada. Hal ini saya maksudkan agar pembahasan tentang pernikahan beda agama lebih melihat pada realitas masyarakat di Indonesia, bukan hanya sebuah angan-angan yang tidak menginjak bumi. Berikut akan saya uraikan tentang pernikahan beda dari perspektif berbagai agama di Indonesia.
1. Menurut Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2. Menurut Agama Katolik
Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal. Soalnya, perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, yang suci). Menurut Hukum Kanon Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Misalnya, adanya ikatan nikah (kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja (kanon 1124) maupun agama (kanon 1086).
Namun demikian, sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan (Kanon 1124). Jadi, dalam ketentuan seperti ini, Agama Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan antara penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian.
Menurut pandangan Katolik, setiap perkawinan, termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katolik), hanya dianggap sah apabila dilakukan di hadapan Uskup, Pastor Paroki, dan Imam. Ini dapat dimaklumi karena agama Katolik memandang perkawinan sebagai sebuah sakramen. Sehingga kalau ada perkawinan antar agama (dan salah satu pihak adalah Katolik), dan tidak dilakukan menurut agama Katolik, maka perkawinan itu dianggap belum sah.
3. Menurut Agama Kristen