[caption id="attachment_373210" align="aligncenter" width="546" caption="Sumber foto: KOMPAS/WISNU WIDIANTORO"][/caption]
Sebenarnya wacana pengosongan kolom agama di KTP sudah sejak lama didengungkan, terutama jika kita baca berita-berita di internet. Saat itu, wacana tersebut hanya berhenti pada suatu kemungkinan, karena tidak ada respon dari pihak pemerintah. Selain itu juga ada resistensi dari pihak-pihak yang menentang wacana tersebut. Namun kini wacana tersebut tampak tidak lagi sekedar omong kosong. Mengapa? Karena kini Mendagri Tjahjo Kumolo sendiri yang melontarkan wacana pengosongan kolom agama tersebut. Walaupun untuk itu ia menyatakan akan berkonsultasi dulu dengan menteri agama. Namun ternyata Menag Lukman Hakim Saifuddin ternyata justru menegaskan bahwa kolom agama harus tetap diisi. Wapres Jusuf Kalla (JK) sendiri menegaskan bahwa tidak ada wacana penghapusan kolom agama. Namun JK sepakat bahwa jika ada warga negara yang tidak memeluk salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah, maka kolom agama boleh dikosongkan.
Pada artikel ini, saya tidak akan memperpanjang polemik tentang wacana pengosongan kolom agama antara pejabat tinggi negara di atas. Saya justru ingin menceritakan obrolan saya dengan seorang teman saya kemarin siang terkait hal tersebut. Mengapa obrolan itu perlu saya bahas di artikel ini? Seberapa pentingkah obrolan itu untuk dibahas? Menurut saya sangat penting. Karena pendapat teman saya tersebut tidak biasa dan tak terduga oleh saya. Untuk diketahui, bahwa teman tersebut adalah rekan kerja saya, namun kami mempunyai hubungan pertemanan yang sangat baik. Dia adalah seorang wiraswastawan yang sangat ulet dan profesional. Dalam hal pekerjaan, kami saling menghargai terhadap posisi dan profesi masing-masing. Jika saya adalah orang Jawa dan seorang muslim, dia adalah seorang keturunan Tionghoa dan seorang Katolik yang taat.
Nah, di sinilah sisi menariknya perbinacngan saya dengan teman saya soal wacana pengosongan kolom agama tersebut. Di sela-sela ngobrol soal wacana itu, dia juga mengatakan bahwa dia menikahi istri yang berbeda agama, yaitu Konghucu. Bahkan sampai anaknya sekolah SMA pun, istrinya tetap dengan agamanya Konghucu. Dengan latar belakang itu, saya pun bertanya,
Saya: "Kalau begitu bapak setuju dong dengan wacana pengosongan kolom agama?"
Teman: "Jangan karena saya menikah beda agama lalu saya dianggap setuju dengan wacana pengosongan agama. Saya tidak setuju. Menurut saya, agama adalah sebuah keyakinan yang harus diekspresikan. Saya tidak punya niat sedikit pun untuk menyembunyikan apa agama saya. Bagi saya, menyembunyikan agama adalah sebuah bentuk ketidakjujuran"
Saya: "Wah, kaget juga saya mendengar pendapat bapak. Tapi yang saya baca di berita, pengosongan kolom agama itu adalah untuk yang tidak memeluk satu dari enam agama yang diakui di Indonesia, atau orang yang tidak beragama alias atheis. Bagaimana kalau untuk yang ini."
Teman: "Memangnya ada warga negara Indonesia yang agamanya bukan dari enam agama yang diakui di Indonesia? Apakah ada juga yang tidak beragama?"
Saya: "Hmmm, saya sendiri juga belum pernah ketemu yang seperti itu. Tapi kalau saya baca di internet, terutama di situs-situs perdebatan, kayaknya cukup banyak yang menyatakan seperti itu. Entah, apakah mereka serius dengan pernyataannya, atau cuma untuk rame-rame saja."
Perlu diketahui bahwa teman saya ini adalah orang yang gaptek. Dia tidak tertarik untuk baca-baca berita di internet, apa lagi situs-situs perdebatan. Dia hanya mengikuti berita dari televisi. Dia punya ponsel android juga hanya dipakai untuk komunikasi (panggian dan SMS) dan untuk kerja (email dan BBM). Dia tidak punya akun Facebook dan Twitter. Itulah sebabnya, tidak kaget ketika saya bilang ada WNI yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui di Indonesia atau yang tidak beragama. Setelah saya bilang begitu, sejenak dia diam, lalu kembali melanjutkan obrolan,
Teman: "Menurut saya, kalau memang benar ada, dan jumlahnya cukup signifikan, maka pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menambah jumlah agama yang diakui."