Kompasiana sebagai media sosial, selain dalam definisinya sebagai media online di mana para penggunanya dapat berinteraksi, berpartisipasi, berbagi dan menciptakan konten, juga merupakan media untuk memperluas pertemanan dan pergaulan melalui dunia maya. Sejatinya etika pergaulan di dunia maya tidaklah berbeda dengan etika pergaulan di dunia nyata. Ada hal-hal yang harus dijaga agar jalinan pertemanan itu tetap baik dan tidak terganggu.
Namun interaksi maya yang tidak face to face, membuat beberapa kondisi yang membuat akun media sosial merasa lebih bebas, atau bahkan tidak merasakan adanya aturan itu. Ada pula kondisi di mana interaksi yang terjadi telah melanggar batas-batas yang dapat diterima, baik oleh admin, maupun oleh sesama Kompasianer. Ada pun kondisi yang mungkin terjadi adalah :
- Adanya akun anonim tanpa alasan yang jelas, dengan tujuan yang tidak sesuai dengan slogan Sharing & Connecting. Namun ada pula akun anonim, yang dimaksudkan sebagai nama pena, dengan tetap mengindahkan aturan dan etika yang ada.
- Terjadinya perdebatan yang begitu sengit, baik dalam bentuk berbalas komentar atau pun berbalas artikel, sehingga terjadi suasana yang tidak mengenakkan, baik yang disengaja atau pun tidak disengaja, karena kealpaan dalam menjaga emosi. Ketidakmampuan menjaga emosi ini kadang dapat membawa kita pada sikap "ad hominem", yaitu lari dari substansi yang diperdebatkan, menuju personal attacking. Hal ini akan menjadi tidak terpuji apabila dilakukan secara sengaja dengan tujuan menjatuhkan mental lawan debat.
- Terjadinya penyampaian informasi dari sumber pihak ketiga, yang kadang tidak lengkap sehingga dapat ditangkap maksud yang berbeda dari sumber aslinya. Hal ini dapat terjadi secara tidak sengaja, tapi sering juga terjadi dengan unsur kesengajaan. Jika ini yang terjadi, maka dapat mengarah pada upaya fitnah dan pembunuhan karakter.
Bagaimana kita seharusnya?
Dalam perbincangan membahas suatu hal, pasti akan timbul suara pro dan kontra menyikapi hal tersebut. Pro kontra itu pun dapat berkembang menjadi sebuah perdebatan yang sengit. Di sinilah kita diuji untuk membawa diri kita dengan benar dan tidak mengedepankan emosi. Ketidakmampuan menjaga emosi kadang justru membawa kita melakukan blunder yang tidak perlu. Di sinilah pentingnya kita bersikap rasional. Ada waktu yang cukup bagi  kita untuk menekan tombol publish atau enter, sebelum kita memposting artikel atau komentar.
Apa yang saya maksud dengan pentingnya bersikap rasional? Ini bukan tentang argumen-argumen rasional, sekali lagi, yang saya maksud adalah sikap rasional. Yah, kadang kita mesti menjaga jarak dalam berinteraksi di Kompasiana. Kadang kita larut secara personal dalam berinteraksi di Kompasiana. Itu tidak salah, namun harus proporsional. Kadang kita mesti berpikir, bahwa yang kita hadapi hanyalah sebuah layar komputer dan keyboard. Namun kita juga jangan meninggalkan sama sekali sisi personal kita.
Nah, di sinilah saya mencoba sebuah tips:
- Gunakan kata-kata yang terukur (tidak bombastis) pada artikel atau komentar yang kita posting, baik itu ketika memuji atau mengkritik pendapat orang.
- Ketika kita menerima kritik, baik melalui komentar atau artikel, selalu kedepankan rasio kita, jangan terbawa emosi. Berpikir sejenak untuk menanggapi kritikan, siapa tahu kritikan itu memang benar, dan harus kita terima demi kebaikan kita. Jika pun kita yakin benar, kita harus tetap bersikap rasional, gunakan kata-kata dan argumen yang terukur. Karena dengan emosi, betapa pun kita benar, akan dapat ditangkap sebagai kesalahan. Apalagi sikap emosi, lebih sering justru menjebak kita sendiri untuk membuat blunder atau kesalahan yang lebih fatal.
- Luangkan waktu sejenak untuk memastikan artikel atau komentar kita layak posting atau tidak. Saya sendiri tidak ada kepentingan untuk kejar tayang artikel. Sebagai kompasianer, sebaiknya kita mengalir apa adanya. Menurut saya, berkompasiana itu butuh kesabaran. Sekali lagi, tersedia waktu yang cukup bagi kita, sebelum menekan tombol publish atau enter, untuk artikel atau komentar kita.
Jadi Kompasianer Tidak Boleh 'Mewek'
Lalu bagaimana jika kita mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan? Dalam hal ini  saya merujuk pada poin ke-3 ulasan saya di atas, yaitu "Terjadinya penyampaian informasi dari sumber pihak ketiga, yang kadang tidak lengkap sehingga dapat ditangkap maksud yang berbeda dari sumber aslinya." Dalam hal ini, saya akan membahas lalu lintas informasi antar media sosial, dalam hal yang saya maksud adalah antara Kompasiana dan Facebook. Cukup menggembirakan, bahwa artikel-artikel di Kompasiana cukup sering dijadikan rujukan pada status-status di Facebook. bahkan tak jarang, bukan hanya oleh akun personal, melainkan oleh akun resmi  sebuah institusi resmi, seperti YLKI misalnya. Saya beberapa kali membaca postingan dari fanpage YLKI, yang berasal dari artikel di Kompasiana. Menurut saya, ini adalah upaya pencerahan dari YLKI yang kebetulan mengambil dari sumer artikel di Kompasiana.
Namun kadang saya juga membaca sebaliknya. Sebuah artikel di Kompasiana yang mengambil postingan di Facebook. Masih mending jika yang diambil berupa status panjang  yang menguraikan atau menganalisa sebuah kejadian atau fenomena, yang biasanya berupa note (catatan) di Facebook. Namun jika yang menjad sumber adalah sebuah komentar pendek dalam percakapan di Facebook, tentunya ini sangat aneh. Apakah ini adalah sebuah upaya pencerahan, sebagaimana postingan YLKI di atas? Saya meragukan itu.