Pertama-tama, saya berterima kasih atas tulisan Dik Afi Nihaya berjudul Warisan, yang viral dan banyak dikutip baik di medsos maupun di media-media online. Saya baca sampai tuntas tulisan Dik Afi, dan saya sangat mengapresiasi tulisan Dik Afi. Mengenai isi tulisannya, tidak ada yang perlu saya permasalahkan. Bahkan saya sangat memahami kegelisahan Dik Afi. Di saat teman-teman yang seusia anda masih tenggelam dengan asyiknya dunia remaja, anda sudah berpikir jauh lebih dewasa dan memiliki cakrawala yang jauh lebih luas.
Lalu mengapa terjadi pro dan kontra di medsos dalam menanggapi tulisan anda? Jika menilik tulisan anda, dan juga dari postingan-postingan anda sebelumnya, semestinya tidak perlu terjadi pro dan kontra itu. Saya melihat bahwa pro kontra yang terjadi lebih karena kondisi politik yang begitu panas akhir-akhir. Dan biang keroknya adalah pilkada DKI yang baru lalu.
Saya juga sepakat dengan Dik Afi, bahwa selesai pilkada mestinya selesai pula hiruk-pikuk panasnya pilkada, dan kembali bersama membangun Jakarta. Tapi kenyataannya justru sebaliknya, malah semakin panas. Seolah-olah pilkada belum selesai, dan belum ada yang menang atau pun kalah.
Di sinilah saya melihat tulisan Afi Nihaya telah dijadikan mesiu baru untuk menaikkan tensi politik “pilkada yang belum usai itu”. Meski saya tak menampik adanya teman-teman yang mengapresiasi tulisan Afi Nihaya secara jujur, saya melihat adanya upaya memviralkan tulisan Afi Nihaya untuk kepentingan politik tersebut.
Menarik anak muda yang masih putih bersih untuk menjadi tambahan mesiu dalam perang opini terkait “pilkada yang belum usai” itu, tentu tidak dapat dibenarkan. Namun menghakimi tulisan Afi Nihaya seolah dia adalah bagian dari perang opini itu juga merupakan kesalahan yang tidak dapat dibenarkan.
Karena itu biarkanlah Afi Nihaya bebas menuliskan kegelisahannya mengikuti alam pikirannya, tanpa dipengaruhi oleh “racun politik pilkada DKI”. Dan mari kita dorong Afi Nihaya untuk terus maju dan mengembangkan segenap potensinya.
Membaca tulisan-tulisannya yang berisi dan bernas, saya melihat sosok Afi Nihaya adalah pribadi yang cerdas dan pembelajar, melebihi usianya yang masih sangat muda. Saya jadi teringat dengan sosok penulis muda di Kompasiana yang fenomenal, juga karena tulisan-tulisannya yang berisi dan bernas.
Bagi anda yang sering membaca dan menulis di Kompasiana, tentu sudah tidak asing lagi dengan sosok Dewa Gilang. Ketika itu di tahun 2012, anak remaja itu mulai menggegerkan jagat Kompasiana dengan tulisan-tulisannya yang luar biasa. Meskipun kadang tidak setuju dengan isi tulisannya, saya tetap menghargainya dan juga mengaguminya.
Sayangnya, dia tidak suka dengan publisitas. Dan dia lebih suka mengenalkan dirinya dengan sebuah nama samaran, Dewa Gilang. Dalam profilnya di Kompasiana, dia hanya menyebut dirinya sebagai seorang santri di sebuah pesantren NU terkenal di Jawa Barat. Dan mungkin dia juga seumuran dengan Afi Nihaya.
Note, sebelumnya telah dimuat di blog pribadi penulis Farid Wadjdi's Blog
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H