Kemarin, dinyatakan sebagai hari santri nasional sebagaimana ditetapkan dalam Keppres No 22 Tahun 2015. Ada dinamika dan komentar terkait penetepan hari santri ini.
Menurut Agus Sunyoto, Ketua Lesbumi nu, salah satu argumentasi usulan penetapan hari santri adalah adanya “resolusi jihad” yang dikeluarkan (fatwa) oleh Hadrotussyaikh Hasyim Asyari, pimpinan Pesantren Tebu Ireng , kala itu dan Rois Akbar Nu yang berisi kewajiban membela tahah air dari penjajahan yang datang kembali. Hal ini direspon dengan semangat berjuang mempertahankan kemerdekaan oleh santri dalam peristiwa heroic yang kemudian dikenal Hari Pahlawan pada tanggal 10 Nopember 1945.
Soal apresiasi terhadap perjuangan dan semangat kepahlawanan kaum santri ini, sebenarnya pemerintah telah memberikan penghargaan dengan menetapkan tokoh-tokoh santri sebagai pahlawan kemerdekaan ataupun pahlawan nasional. Tokoh santri yang telah ditetapkan sebagai pahlawan diantaranya KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbullah.
Kiranya dengan sebagai pahlawan nasional, tentu kita dan pemerintah tidak akan menafikan sejarah periode yang berlangsung dalam perjalanan beliau-beliau yang tidak terbatas “hanya “ terkait resolusi jihad. Melalui pendidikan dan pengajaran ala pesantren beliau lahirlah tunas – tunas bangsa yang mencerahkan nusantara ini.
Substansi kesantrian melekat kepada beliau. Kalau mau menteladani, justru melalui perjalanan hidup beliau akan didapati mutiara kehidupan yang penting bagi generasi kini dalam menjalani masa kini dan mendatang.
Jikapun ada masa atau fase perjalanan bangsa dimana kaum santri merasa dipinggirkan, itu biarlah menjadi penggalan sejarah yang sudah terjadi. Yang pasti kontribusi yang ditorehkan bagi bangsa tidak akan hilang hanya karena kekuasaan rezim yang berkuasa pada masa itu.
Keputusan sudah diambil. Sebagai sebuah keputusan tentu tidak akan dapat memuaskan atau semua pihak. Ada kesetujuan, namun ada ketidak setujuan. Salah satunya ormas Muhammadiyah yang menyatakan menolak hari santri. Karena dianggap menimbulkan sekat-sekat sosial, melemahkan integrasi nasional, dan membangkitkan kembali sentimen keagamaan lama yang selama ini telah mencair dengan baik. Tampaknya penggunaan istilah atau symbol “santri” yang memunculkan perdebatan. Arti santri saat ini, di era keterbukaan informasi sudah bergeser. Seperti yang ditulis saudara Muhammad Ridwan bahwa Akses pengetahuan agama tidak lagi monopoli “kaum santri” di Pesantren-pesantren atau Perguruan Tinggi Islam. Hasilnya, tumbuh kelas menengah baru di Indonesia yang tidak lagi mencirikan sebuah kelompok abangan atau priyayi, sehingga antara kelompok santri dan non-santri sudah mencair
Sebenarnya bagi kalangan NU yang dianggap mewakili santri, tradisi mencapai inti (hakikat) adalah lebih penting ketimbang terjebak dalam symbol (syariat). Namun untuk kasus hari santri, sesuatu yang berbeda rupanya.
Satu yang dicatat baik bagi yang setuju atau tidak setuju bahwa perjuangan para “santri” untuk bangsa tidak ada yang meragukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI