Dalam dunia jurnalistik konvensional (cetak), jika ingin dimuat dalam halaman media maka, pengarang/penulis sebaiknya mempelajari karakter media yang akan dikirim. Hal ini penting, karena sering membuat penulis pemula harus gigit jari karena tulisannya tak kunjung dimuat. Ini tentu terkait kredibilitas media dan seleksi kriteria tulisan yang ketat. Sehingga benar-benar tulisan yang baik dan layak menurut visi dan misi media, yang akan layak muat.
Perkembangan teknologi informasi yang mempengaruhi perkembangan media dan saluran (kanal) menyampaikan gagaran, opini , wacana, ide dalam bentuk tulisan semakin cair. Apalagi perkembangan media sosial di jagad maya yang semakin hari semakin marak. Sehingga saat ini dunia terbagi antara dunia nyata dan dunia maya yang keduanya saling mempengaruhi dan memberikan dampak bagi kehidupan.
Dengan kemudahan demikian, berkembang juga apa yang disebut citizen journalism, baik di media cetak, media elektronik, lebih-lebih media daring. Seperti yang dilakukan oleh grup Kompas melalui Kompasiana ini. Akhirnya kini setiap orang dapat saja sesuka (hati)nya mengirim tulisan apapun tanpa takut tidak dimuat.
Bayangkan dalam 1 jam saja, di media Kompasiana ini muncul sekitar 40 tulisan, artinya tiap hampir setiap menit muncul satu tulisan. Jika demikian, dalam satu hari hampir 1000 tulisan dimuat dalam media ini. Luar biasa. Seperti jalanan di ibukota, yang setiap pengendaranya, ada mobil mewah, sepeda motor, gerobak sampah, sepeda, mobil patroli polisi, pemadam kebakaran, bemo, bajaj, mobil berusia 20 tahun yang bisa saja dihilangkan oleh kebijakan Ahok dan lain-lain kendaraan juga pejalan kaki yang trotoarnya diserobot motor. Mereka semua saling serobot untuk mendapatkan jalan. Dengan jumlah tulisan yang demikian besar, bisa menampung berbagai tulisan, dari tema ideologis, bisnis, rasionalis, realisis, makalah, potongan skripsi, curahan hati, umpatan, tips atau sekedar tulisan iseng. Semua diperlakukan sama, dimuat.(sepanjang bang admin setuju).Ini baru di satu media bernama Kompasiana dengan para Kompasianer-nya. Sampai disini, kondisi ini kita anggap suatu yang positif.
Mengutip BangDos dalam teknik menulis ‘buritan perahu’ ala Muhammad Armand“Menulis itu memanglah ‘persoalan’, kurang diperkenankan menulis serampangan, apalagi sembarangan”. Jadi setelah tahap menulis dan mem-posting tulisan, tanda hits “dibaca”dapat menjadi sinyal sudah sampai dimana kelas tulisan kita. Sama seperti Facebook, tentunya akan (merasa) bangga jika status kita banyak yang meng-like. Dengan durasi waktu yang sangat cepat dan jumlah muatan tulisan yangdipublish demikian banyak, amat sangat diperlukan tulisan kreatif untuk mencuri perhatian Kompasianer.
Tidak heran dalam dunia jurnalistik ada ungkapan bad news is good news, atau pepatahnya orang orab Arab, jika ingin terkenal, kencingi sumur zam-zam (padahal sumurnya sudah tertutup ya). Persis ulah si Charlie Hebdo yang membuat geger dunia. Tulisan dan terbitannya memang dicari orang, tapi tidak membuat nyaman kehidupan. Pandai dan jelilah untuk meningkatkan eksistensi tulisan kita. Jangan sampai tulisan itu hanya menjadi numpang lewat dan memenuhi ruang penyimpanan admin saja. Terlebih media seperti Kompasiana yang bak belantara raya dengan penghuni hamper 300 ribu yang tak jelas segmentasinya. Beruntung bergabung di kompasiana ini, tidak membedakan antara tulisan pemula dengan tulisan mahir. Kita dapat belajar dari berbagai kalangan dengan latar belakang berbeda lewat gaya tulisan yang dimuat, utamanya yang telah “eksis dan mapan” itu.
Yang lebih disayangkan, setelah menulis dan memposting ditinggalkannya begitu saja karyanya, mengabaikan respon dan komentar pembacanya. Kasin…kasian…
Catatan : Penulis ini, masih sangat awam dan pemula dalam menulis.
Kebon Jeruk 260215
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H