Minggu minggu terakhir kemarin, halaman pemberitaan tanah air, baik itu media cetak maupun elektronik termasuk ruang media sosial gaduh soal sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB).di beberapa tempat bahkan terjadi aksi demonstrasi, ada juga tindakan diduga pemalsuan surat keterangan tidak mampu yang dilakukan oleh oknum orangtua dan pihak yang terlibat demi maksud anaknya dapat bersekolah di  sekolah yang diinginkan. Persoalan ini dipicu oleh terbitnya Permendikbud no. 14 tahun 2018 tentang PPDB yang salah satunya mengatur  sistem zonasi sekolah.
Penerapan aturan PPDB tahun ini memang berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. Dahulu calon peserta didik baru sah sah saja mendaftar di sekolah manapun sepanjang nilai ujian yang dipersyaratkan terpenuhi. Sehingga kondisi tersebut dianggap menciptakan pengelompokan sekolah favorit dan sekolah unggulan di satu sisi, dan sekolah yang dianggap tidak favorit dan tidak unggulan di sisi lainnya. Kondisi demikian dalam jangka panjang dianggap menciptakan tidak menguntungkan, karena sekolah negeri yang bermutu akan terkonsentrasi hanya di sekolah tertentu.Â
Pemerintah melalui peraturan barunya berkehendak terjadinya pemerataan mutu sembari berharap semua sekolah negeri adalah sekolah favorit. Tentu kondisi di lapangan saat ini faktanya sekolah sekolah negeri beragam dalam soal kualitasnya serta kemampuan merespon kebijakan baru pemerintah terkait PPDB ini.
Menurut pakar pendidikan memang perlu waktu dan penyiapan baik sumber daya manusianya maupun sarana prasarana termasuk sinergi instansi lain untuk bisa memujudkan pemerataan sekolah bermutu dan berkeadilan melalui sistem penerimaan peserta didik baru tersebut. Lalu apa hubungannya dengan pesantren ?
Di tengah gaduhnya sistem PPDB  versi sekolah negeri, ada puluhan ribu pesantren di Indonesia, dan variasi pendidikan islam lainnya semisal sekolah islam terpadu dengan  jutaan peserta didik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Balitbang Diklat Kemenag, ditemukan dari 14.656 pada tahun 2003-2004 jumlah pesantren menjadi 28.961 pada tahun 2014-2015.Â
Lembaga pendidikan yang dulu dipandang sebelah mata, kini keberadaanya bahkan menjadi pilihan utama beberapa kalangan.Hasil obrolan dengan beberapa  rekan yang memiliki putra putri usia sekolah, banyak meski tidak mayoritas, menyekolahkan putra putrinya ke pesantren. Dan yang menjadi pilihan, cenderung pesantren modern yang dilengkapi dengan berbagai sarana prasarana pendukung. Disinilah berlaku apa yang terjadi di sekolah negeri sebelum peraturan PPDB terbaru keluar.
Saat ini yang diharapkan orang tua lebih dari sekadar anaknya bersekolah di sekolah bermutu, akan tetapi bagaimana anaknya dapat terhindar dari pola kehidupan yang cenderung tidak terkontrol nilai moralnya sebagai dampak negatif dari perkembangan teknologi. Dan itu saat ini belum ditemukan di sekolah negeri, termasuk yang dianggap favorit sekalipun.
Menurut Azyumardi Azra, mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Â mereka pada umumnya berasal dari kelas atas yang kemudian mengalami proses intensifikasi dalam bekeragamaan (azra, mencetak muslim modern). Dan bagi kalangan muslim menengah keatas sangat menyadari, tidak masalah membayar mahal untuk itu. Peluang itulah yang kemudian direspon dan ditangkap oleh kalangan pesantren ataupun sekolah islam termasuk juga sekolah berbasis agama lain, baik berasrama (boarding school) ataupun tidak.
Akhirnya pesantren pun memunculkan wajahnya yang lain. Kini tidak sulit mencari pesantren dengan kelengkapan fasilitiasnya. Mulai dari para guru yang berasal dari lulusan luar negeri, sarana olahraga yang memadai, fasilitas laboratorium termasuk laboratarium bahasa, juga asrama santri yang lebih layak semakin memanjakan santri kekinian.Â
Semakin banyak juga tayangan di media visual berupa film dokumenter, film layar lebar juga sinetron televisi  yang menggambarkan suasana pesantren yang relatif sangat bagus. Yang demikian itu, tentu secara alamiah akan menyaring klaster masyarakat tertentu untuk bisa mengaksesnya. Mereka bisa berasal dari ujung barat indonesia, ataupun ujung timur indonesia.Â
Dengan kondisi input yang memadai, baik dari tingkat sosial ekonomi ataupun kapasitas diri, maka menjadi tidak heran, pesantren dengan model tersebut sarat dengan berbagai prestasi. Dan ingat, mereka tidak akan pernah tersentuh oleh ketentuan PPDB versi pemerintah yang diantaranya mengatur sistem zonasi. Akhirnya tanpa disadari, bisa jadi pesantren kekinian memunculkan jaringan kelompok sosial ekslusif. Semoga saja tidak.