Mohon tunggu...
Farid Sudrajat
Farid Sudrajat Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar kehidupan

pembelajar kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

MQK 2017 Jepara: Catatan Tertinggal

8 Desember 2017   17:36 Diperbarui: 8 Desember 2017   17:41 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musabaqoh Qiraatil Kutub disingkat MQK, mungkin sebagian kalangan masih asing terhadap istilah ini. Ya ini adalah gelaran yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia untuk menghidupkan dan menumbuhkan kembali semangat mempelajari kitab kuning, yang akhir-akhir  ini disinyalir semakin menurun tradisi pembelajarannya, bahkan untuk kalangan pesantren sekalipun.

Gelaran mqk ini merupakan yang ke enam (6) sejak mula pertama diadakan. Pertama kali MQKN dilakukan di PP. Al-Falah Bandung Jawa Barat pada tahun 2004, di PP. Lirboyo Kediri Jawa Timur pada tahun 2006, dan ketiga di PP. Al-Falah Banjar Baru Kalimantan Selatan tahun 2008. Tahun 2011 dilaksanakan di PP. Darunnahdlatain Nahdlatul Wathan, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selanjutnya, Tahun 2014 dilaksanakan di PP. As'ad Jambi, dan Tahun 2017 ini dilaksanakan di PP. Raudlatul Mubtadiin Balekambang Jepara Jawa Tengah.(ditpdpontren.kemenag.go.id.)

Sayangnya meskipun sudah memasuki gelaran yang ke enam kalinya, gaung kegiatan ini masih kalah jauh dari kegiatan mtq yang lebih dulu ada. Sejatinya gelaran ini semestinya harus mendapat perhatian juga, karena substansi  musabaqoh ini adalah bagaimana memamahi literatus tradisi salaf yang telah diwarisi dari generasi ke generasi yang tertulis di dalam naskah kitab kuning yang tertulis dalam bahasa arab tanpa harakat.

Membaca tulisan arab tanpa harokat, terlebih dalam kitab kuning, memang memerlukan keahlian dan penguasaan unsur bahasa arab, utamanya ilmu nahwu dan sharaf. 

Saking pentingnya kedua ilmu tersebut, di banyak pesantren, khususnya pesantren bercorak salaf,  pembelajaran keduanya mendapat porsi yang sangat besar. Para santri bahkan rela bersusah payah menghafal  bait-bait Nazam Imrithi ataupun Nazom Alfiah berisi kaidah nahwu saraf ketimbang menghafal al quran. Terlihat aneh memang, namun demikian adanya. Berbalik dengan pesantren bercorak modern, yang justru belakangan ini gencar dengan program tahfiz qurannya.

Kali ini, MQK dilaksanakan pada tanggal 29 Nopember hingga 07 Desember 2017, namun ditutup secara resmi pada tanggal 5 desember yang lalu. Di balik gempitanya ajang perlombaan membaca kitab kuning kali ini, ada yang mungkin luput dari perhatian.

Kebetulan penulis berkesempatan menyaksikan secara langsung kegiatan tersebut, dan tanpa sengaja pula, bertemu dengan teman-teman yang tergabung dalam tim kompasiana coverage mqk 2017. Secara garis besar perlombaan ini dibagi tiga tingkatan, menyesuaikan jenjang yang ada pengajaran di pesantren, yaitu tingkatan awal ( marhalah ula), tingkatan menengah (marhalah wustho) dan tingkat tinngi ( marhalah ulya).Sejatinya ini adalah ajang perlombaan, seperti umumnya perlombaan di bidang kehidupan lain. Namun perlombaan ini tetap suatu yang berbeda. Mengapa ?  yang membedakan adalah para peserta dan dewan juri yang menjadi pelaku langsung perlombaan ini. Mereka tetaplah para santri dan para ustad, yang terdidik dalam suasana hubungan dan sikap  menyayangi yang muda dan menghormati yang lebih tua. Bentuk sikap yang konkrit untuk hal ini, misalnya, mencium tangan guru, ustad ataupun kiai. Di  pesantren, ini adalah hal jamak dilakukan. Disamping bentuk penghormatan, juga sarana mengharap berkah dan manfaat ilmu yang diterima dari sang guru.

Namun dalam beberapa majelis perlombaan, penulis menemukan beberapa hal unik. Banyak peserta lomba, yang sudah tentu para santri, melupakan adab hormat kepada ustad, yang kebetulan berposisi sebagai juri saat itu. Entah karena terbawa suasana perlombaan yang tegang, ataupun memang tidak ada ketentuan yang mengatur. 

Diawali dengan salam, mendoakan mushoniif ( pengarang kitab), membaca kitab, menjelaskan materi bacaan, selanjutnya sesi tanya jawab antara dewan juri dan peserta, diakhiri penutup salam. Selesai. Dalam pandangan penulis, hal ini terasa aneh,terasa kaku, tegang. Jarang penulis lihat para peserta yang santri ini menghampiri para juri, yang sebetulnya para ustad tersebut, untuk kemudian mencium tangannya, tanda mengharap berkah ilmu, meskipun kedua pihak baru saja menjalani sesi sebuah perlombaan.

dok.pribadi
dok.pribadi
Hal unik lainnya, meskipun perlombaan ini adalah ajang membaca "kitab kuning", ternyata tidak menghalangi hadirnya beragam "kitab putih" yang dibawa para santri peserta lomba. Tentu tidak bermaksud untuk merendahkan kitab putih. Biasanya kitab putih yang dibawa para peserta adalah kitab terjemahan tentang kitab yang akan dilombakan. 

Seperti kitab terjemah Muchtasor Ihya Ullumiddin Abu Hamid Al Gozali, untuk bidang akhlak, kitab terjemah Fathul Qorib untuk ilmu fiqh ataupun kitab terjemah Ajjurumiah, untuk bahasan ilmu nahwu. Kemungkinan hadirnya kitab-kitab putih tersebut untuk membantu pemahaman para santri peserta lomba MQK ini. Dan itu sah-sah saja dan tidak dilarang. Namun hal ini barangkali makin memperkuat tentang sulitnya mempelajari kitab kuning, dan makin bergantungnya santri kekinian kepada kitab terjemahan, sebagai sarana alternatif memahami ajaran agama, selain dari para ustad atau kiainya.

dok.pribadi
dok.pribadi
dok.pribadi
dok.pribadi
Selanjutnya, penulis dapati juga hal unik, yaitu abadi dan masyurnya nama "zaid". Entah sudah berapa ratus kali dan berbilang tahun nama ini disebut dalam setiap pembelajaran di pesantren, utamanya pesantren salaf. Nama ini selalu hadir. Bahkan seorang menteri agama, lukman hakim saefudin, sempat mentweet tokoh zaid ini.

Nama yang selalu disebut, tapi tak pernah bertemu. Dan kini di ajang lomba mqk 2017 di pesantren bale kambang, kabupaten jepara ini, nama zaid ini, tetap menjadi primadona tak tergoyahkan. Namanya selalu disebut. Barangkali hanya nama nabi muhammad saw saja yang dapat melampaui sebutan nama zaid ini.

dok.pribadi
dok.pribadi
Tentu kita semua berharap, iktiar untuk mengembalikan gairah dan menghidupkan kembali mengaji dan mengkaji kitab kuning melalui ajang mqk ini, utamanya di pesantren-pesantren yang merupakan pusat pendidikan dan pengkaderan ulama khas indonesia, menemukan kembali momentumnya. Dan selamat bertemu kembali dalam ajang mqk yang akan datang dengan harapan yang lebih baik lagi. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun