Perhitungan jumlah suara caleg belum selesai. Tapi beberapa indikator kegagalan atau keberhasilan sudah mulai terlihat. Banyak calon petahana yang harus segera berkemas meninggalkan Senayan. Beberapa wajah baru yang benar-benar baru matanya bulai berbinar membayangkan empuknya “kursi panas” di parlemen. Sebagian wajah baru ~tapi stok lama~ berganti kulit dari DPR ke DPD dan sebaliknya. Lumayan, karena belum benar-benar terusir dari kompleks wakil rakyat.
Sangat mengagetkan ~walaupun sebenarnya bisa diduga kuat~ ada beberapa wajah yang seharusnya kurang pas jika menjadi wakil kita di pusat sana. Sebut saja mantan Bupati Bantul Idham Samawi yang berhasil mendapatlan satu kursi di Senayan. Padahal kita tahu bahwa Idham Samawi sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana hibah Persiba sebesar Rp 12,5 miliar pada tahun 2011 oleh Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keterpilihan dia menjadi gunjingan sebagian besar masyarakat Yogyakarta. Mereka kecewa atas terpilihnya Idham Samawawi yang dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Padahal selama ini PDIP sangat serius pada pemberantasan korupsi. Tidak kurang, Megawati saat kampanye Di Yogyakarta tepatnya di Sleman saat pemilu legislatif selalu mengatakan anti korupsi. Namun kenyataannya berbeda. PDIP tetap secara sengaja merestui pencalonan Idham Samawi walau yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Belum lagi sosok sentral Kabupaten Garut yang pernah menghebohkan jagat politik Indonesia. Aceng Fikri yang fenomenal dengan pernikahan kilat dan perceraiannya via sms. Dia melenggang ke Senayan melalui kendaraan DPD. Dia betul-betul hebat dan luar biasa, karena dia harus mengumpulkan suara di seluruh propinsi Jawa Barat. Coba bandingkan dengan caleg DPR yang dapilnya hanya memerlukan 2-5 kabupaten atau kota saja. Luar biasanya lagi, Jawa barat adalah propinsi yang besar dan sangat padat penduduknya. Sang mantan Bupati Garut ini tidak perlu mendompleng nama besar partai, karena konon tidak ada partai yang menerimanya menjadi anggota. Terakhir Partai Hanura pun menolaknya karena kasus “pelecehan wanita” nya tersebut.
Sebut lagi Andika Hazrumy, putra sulung Atut yan pada periode 2009–2014 menjadi anggota DPD mewakili Provinsi Banten, Kini melenggang kembali ke Senayan lagi dengan kostum DPR RI. Andika yang masuk melalui Partai Golkar yang sempat dipimpin almarhum ayahnya, kini dipimpin oleh tantenya, melalui Dapil Banten I (Kabupaten Lebak dan Pandeglang), mendapat 70.846 suara dari total 192.641 suara yang didapat Partai Golkar di Dapil itu. Dengan 37% suara di dapilnya, dipastikan Andika berhak atas satu kursi di Parlemen. Lalu adiknya, Andiara Aprilia Hikmat, yang masih hijau di kancah politik, kini menggantikan posisinya di DPD, mewakili Provinsi Banten dengan mengumpulkan 904.221 suara.
Duh gustii… Apa yang terjadi dengan republik ini? Mengapa ini bisa terjadi? Seperti mimpi, tapi ini benar-benar nyata dalam peta politik kita. Rakyat masih memilih mereka karena bisa jadi memang sampai detik ini “beliau-beliau” itu masih jadi panutan rakyat. Kita semua paham kultur bangsa ini jika berhadapan dengan para petinggi yang dihormatinya. Apalagi jika dinasti yang dibangun para caleg itu sudah berakar bertahun-tahun. Sulit untuk melepaskan atau mengalihkan pandangan mereka terhadap orang-orang yang dicintainya. Baik atau buruk, hidup mati dipertaruhkan untuk idolanya. Kita mungkin masih ingat kecintaan orang Jawa kepada almarhum Abdurahman Wahid. Pejah gesang nderek Gus Dur. Kalimat yang sulit direnggut begitu saja dari mindset para pengagumnya. Belum lagi kharisma Bung Karno yang dipercayai sebagian besar pendukung fanatik PDI-P menitis di jiwa Megawati.
Namun tidak bisa dipungkiri juga adanya kemungkinan bahwa kemenangan mereka lantaran hartanya yang melimpah. Siapa yang tidak kenal Aceng Fikri. Bahkan penasehat hukumnya saja yang cantik jelita malah menjadi isterinya. Pesona dan duitnya ga berseri. Siapa yang tidak tahu Ratu Atut dan dinastinya yang melegenda di Banten. Baru dari tangan seorang Wawan saja sudah begitu luar biasa kekayaan dinasti ini. Belum lagi jika digabungkan dengan anggota keluarga besar lainnya.
Tidak sulit bagi mereka untuk membeli apapun termasuk membeli suara jika mau. Bisa jadi banyak caleg-caleg “recehan” yang dengan suka rela maupun paksa rela menjual suaranya yang “tidak seberapa” kepada mereka. Simbiosis mutualitis. Caleg yang tidak lolos mendapatkan uang, mereka yang punya uang mendulang suaranya. Jika memang itu benar, mereka melaju ke Senayan bukan atas pilihan rakyat dong… Lalu di mana suara rakyat yang konon adalah suara Tuhan? EGEPE…. Rakyat kan sudah menerima sepuluh, dua puluh, sampai lima puluh ribu… Cukup buat beli beras sekilo, minyak goreng seliter dan ikan peda sepotong….. Makan kenyang, tidur pulas, mimpi indah tentang eloknya negeri khatulistiwa ini.. Besok hari? Ya gimana besok aja..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H