Mohon tunggu...
Farid Auladi
Farid Auladi Mohon Tunggu... -

Apapun itu, itulah yang terbaik yang tersedia untuk kita..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampanye Pemilu Ternyata Palsu

28 Maret 2014   20:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu di jaman dulu ~setidaknya saat saya masih anak-anak~ benar-benar menjadi pesta rakyat walaupun bukan pesta demokrasi yang sesungguhnya. Perhelatan besar, arak-arakan, kampanye masal mewarnai setiap pelosok nusantara. Rakyat dihibur dengan berbagai macam kegiatan yang membuat mereka bersuka cita. Maklum saat itu pilihan hiburan masih sangat terbatas. Ditambah lagi sarana komunikasi yang masih belum bisa masif dan lintas benua seperti saat ini.

Pesta demokrasi saat itu diikuti masyarakat dengan sukarela. Mereka hadir dengan senang hati memenuhi tempat berkumpulnya orang banyak karena alasan ideologis atau pun karena perlu hiburan. Hanya saja saat kampanye Golkar barangkali urusan ideologis perlu dipertanyakan saat itu. Tetapi untuk kampanye partai lainnya sudah dipastikan aspek ideologis ada dalam pikiran mereka yang hadir.

Lalu apa bedanya dengan sekarang? Gempita itu rasanya mulai pudar, untuk tidak mengatakan sudah tidak ada lagi gregetnya. Buktinya, saya merasakan adem ayem saja selama periode kampanye ini. Saya tidak tahu ada kampanye di mana saja di tempat saya tinggal karena memang tidak tampak gelagatnya, persiapannya apalagi pelaksanaannya. Saya baru tahu ada kampanye terbuka di beberapa daerah itu pun dari televisi.

Di sana disiapkan panggung besar di area terbuka. Lalu para pejabat partai dengan tokoh sentralnya baik pusat maupun daerah duduk berjejer di atas panggung. Serasa dunia cuma milik mereka. Lalu ada yang berpidato, membual dan menyampaikan janji-janji semanis madu. Lalu ada contoh bagaimana mencoblos surat suara. Lalu ada hiburan musiknya dan dangdut selalu menjadi musik favorit penarik penonton. Standar banget kesannya.

Efektif kah cara-cara seperti ini untuk mendulang suara? Belum teruji untuk saat ini. Ada beberapa faktor yang membedakan hasilnya jika membandingkan dulu dengan sekarang.

Pertama. Apakah yang hadir ke acara itu mereka datang dengan sukarela? Tidak. Mereka adalah orang-orang bayaran yang bersedia hadir untuk beberapa lembar puluhan ribu rupiah dan sekotak nasi jatah makan siang. Sedikit sekali yang hadir tanpa bayaran, itupun karena pengin nonton hiburannya. Buktikan sendiri kalau tidak percaya. Sekarang ini banyak EO dadakan yang bisa mendatangkan orang sejumlah pesanan kita. Bahkan lebih gila lagi, teman saya memiliki beberapa paket layanan hemat yang disesuaikan dengan budget acara. Paket itu meliputi jumlah orang, lama hadir di tempat kampanye, pakai sorak sorai atau tidak, dan sejumlah term & condition applied lain yang membuat saya jadi geleng-geleng kepala. Tetapi itu semua ril, nyata adanya dan teman saya meraup untung lumayan selama masa kampanye ini.

Ke dua. Jika mereka datang tanpa target yang jelas selain uang saku, makan siang dan nonton penyanyi yang aduhai lalu apa yang bisa diharapkan dari mereka? Lha wong nyatanya ratusan orang yang sama bisa hadir di tempat kampanye yang berbeda kok. Jadi kampanye yang tampak semarak itu tidak lebih dari sekedar perhelatan semu yang kosong makna. Betul, di media cetak dan media elektronik mereka terlihat menyemut. Lautan manusia memenuhi setiap jengkal tanah lapang. Tapi jangan lupa sudut pengambilan gambar dan teknik cropping sudah sedemikian canggihnya. Kecuali jika juru kameranya masih amatiran sehingga dia bisa dengan jujur menayangkan kondisi yang sesungguhnya. Yang saya lihat seperti itu saat ada kampanye Nasdem di seputaran Jakarta Utara. Hanya tim sukses dan beberapa kerabat serta tetangga caleg saja yang hadir pada acara yang tidak murah itu.

Ke tiga. Jika janji-janji orator itu palsu, penontonnya palsu, gambar yang disiarkan juga palsu, lalu apa yang asli dari kampanye ini? Jangan-jangan uang yang digunakan untuk membiayai semua itu juga palsu. Karena sudah sejak dari awal tahun ini beberapa pihak mulai berteriak untuk meningkatkan kewaspadaan akan adanya uang palsu yang beredar. Peringatan ini tentu tidak muncul begitu saja. Tetapi pasti berdasarkan pengalaman atau informasi yang kesahihannya bisa dipercaya.

Kembali ke masalah apanya yang asli. Yang asli adalah jiwa dan pikiran kita rakyat Indonesia. Kelihatan makin asli kecerdasannya dalam memilah dan memilih mana emas, perak, perunggu atau sekedar loyang. Ada undangan kampanye parpol; ambil uangnya, ambil nasi kotaknya, makan kenyang, bergoyang selama 2-3 jam melepaskan penat, bergembira bareng-bareng, pulang diongkosi, urusan selesai. Money politic; ambil uangnya, coblos gambarnya, tusuk lambangnya tidak mesti sesuai dengan pesanan pemberi uang. Apa urusannya sama dia, ini kan LUBER (langsung, umum, bebas & rahasia). Suka-suka gua dong.

Lalu, bagaimana saya si parpol atau calon legislatif yang terhormat mengembalikan modal yang sudah saya keluarkan begitu banyak? Lha... Itu kan urusan elo... EGP....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun