Pemilu besok digelar secara serentak di seantero nusantara. Kesibukan yang sangat luar biasa bagi mereka yang berkecimpung langsung pada hajatan besar lima tahunan ini. Masa kampanye sudah lewat, masa tenang sedang dinikmati oleh mereka yang tidak pernah mau peduli apakah ada pemilu atau tidak. Yang penting besok libur nasional. Bebas dari rutinitas, bebas dari tekanan pekerjaan di kantor, bebas mau ngapain aja, termasuk bebas memilih siapa dan juga bebas tidak memilih siapapun.
Hal ini kontradiktif banget dengan mereka yang “masa depannya” ditentukan besok. Apakah 5 tahun ke depan menjadi masa depan yang cerah, periode menggembungkan pundi-pundi kekayaan atau justru sebaliknya harus menjadi penghuni rumah sakit jiwa jika tidak tahan dengan tekanan dan menanggung malu yang berlebihan.
Seorang teman caleg dari salah satu partai tadi pagi mulai menulis rangkaian doa di status BBM nya. Doa tentang keinginan memperbaiki bangsa ini melalui kiprahnya di DPRD. Benarkah dan tuluskah doanya? Semoga saja begitu. Tapi siapa yang percaya, seperti halnya apakah kita percaya begitu saja dengan mereka yang fotonya begitu alim, saleh, agamis tapi foto itu nempelnya di pohon, di tembok atau malah di dinding jembatan? Malahan, saya melihat ada yang menulisi “Si Manis Jembatan Ancol” di salah satu banner yang dipasang di jembatan dekat rumah saya.
Teman isteri saya pun begitu. Kebetulan suaminya seorang petahana anggota legislatif selama dua periode. Tahun ini masih maju lagi mencoba peruntungan berikutnya. “Aduh stress banget, Mbak. Tahun ini lebih berat tantangannya, apalagi setelah “Ibu” masuk KPK. Ga ada yang bisa diandelin.” Begitu keluhannya di dua minggu terakhir ini. Yang dimaksud Ibu adalah salah seorang petinggi propinsi di Pulau Jawa yang saat ini harus berurusan dengan badan penegak hukum. Menarik disimak. Mengapa setelah “Ibu” masuk KPK lalu tantangannya menjadi lebih berat? Lalu apa hubungan Sang “Ibu” dengan pilihan caleg? Ah, pura-pura nggak ngerti aja deh.
Seorang kerabat dekat mengeluhkan sikap anak menantunya. Tadinya dia seorang kontraktor sukses. Lalu mendapatkan jatah warisan dari orang tuanya yang juga orang kaya. Dengan kekayaan yang dia miliki plus jatah warisan dari mendiang ayahnya, dengan tekad bulat dia gelontorkan uang em-em an untuk “mencari kerja” di kantor DPRD. Dia berasal dari salah satu kota kecil di pesisir selatan Jawa Tengah. Dibesarkan dan berkiprah lama di Jakarta. Nyaleg di daerah asalnya di pesisir selatan Jawa Tengah itu. Ada yang kenal dia? Pasti ada walaupun belum tentu banyak. Yang jelas orang tuanya dikenal baik oleh masyarakat sekitarnya.
Lalu apa masalahnya? Uangnya sudah habis padahal coblosan baru digelar besok. Sekarang ini mertuanya dirongrong terus untuk meminjamkan dana. Teganya, padahal sang mertua hanyalah janda pensiunan PNS dengan uang pensiun yang tidak seberapa. Punya tabungan, itu pun hasil mengumpulkan selama bertahun-tahun.
Belum selesai sampai di situ. Gelagat stres nya mulai muncul ke permukaan. Poster, brosur yang memuat fotonya dipasang di rumah sang mertua, baik di luar maupun di dalam rumah. Karena ingin rumahnya resik, tempelan-tempelan itu dicopoti satu persatu. Terang saja hal ini membuat si menantu jadi marah besar. “Ibu, tidak mendukung saya jadi jadi orang hebat. Ibu, pilih kasih dengan saya...” Itu sebagian lontaran kekesalan yang menyeruak dari sang caleg. Pfff... Ibu itu hanya bisa mengelus dada dan curcol dengan kerabat-kerabatnya.
Tetangga teman saya, termasuk juga salah satu yang berharap kaya dari jalur legislatif. Dulunya orang tidak berpunya, gigih dalam belajar, sukses dalam bekerja. Paling tidak suksesnya itu ditunjukan dari kepemilikan aset-aset yang berharga di seputaran Jabotabek dan kampung halamannya di Jawa Tengah sana. Rumah, kendaraan, tanah berupa kebun dan sawah adalah sebagian kecil dari hasil kerja kerasnya selama ini. Saat ini dia jadi Ketua RW di lingkungannya dan tahun ini “melamar” menjadi anggota dewan yang terhormat.
Kali ini yang stres bukan sang caleg tapi isteri dan anak-anaknya. Kenapa? Kehadiran dia di rumah sudah sangat jarang. Setiap malam kelayapan bersua dengan calon-calon pemilihnya. Apalagi hari libur dan saat-saat mendekati tanggal 9 April besok, kesibukannya makin bertambah. Perhatian terhadap keluarganya menjadi semakin minimal. Pulang hanya untuk ganti baju dan selepas itu kembali melesat ke konstituennya. Pasti terpilih? Belum tentu juga.
Yang pasti mari kita berdoa semoga besok semuanya berjalan dengan baik. Lancar, aman, sukses dan sesuai dengan harapan kita semua Indonesia yang lebih baik. Semoga juga kamar-kamar yang sudah disiapkan jauh-jauh hari di berbagai rumah sakit ~terutama RSJ~ tetap menjadi kamar kosong. Semoga tidak ada lagi yang menarik kembali sajadah dan karpet masjid yang disumbangkannya, karena gagal dalam pileg. Semoga juga tidak ada lagi yang bertelanjang dada di keramaian hanya karena impiannya ke senayan kandas di tengah jalan....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H